KAIRO, KOMPAS Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo, dalam konferensi pers dengan Menlu Arab Saudi Adel al-Jubeir, Minggu (29/4/2018), di Riyadh, Arab Saudi, memberi fokus pada isu masa depan kesepakatan nuklir Iran. Kesepakatan itu dicapai pada Juli 2015.
Pompeo menyampaikan, opsi mundur dari kesepakatan nuklir Iran akan menjadi pilihan AS jika tidak dilakukan amandemen atas kesepakatan itu. Ia menyebut kesepakatan nuklir Iran gagal mengubah perilaku Iran yang terus menjadi sumber ketidak- stabilan di Timur Tengah.
”Iran menjadi faktor instabilitas di kawasan ini. Ia mendukung milisi dan kelompok teroris. Iran menyuplai senjata ke kelompok Houthi di Yaman dan mendukung rezim pembunuh Bashar al- Assad,” ujar Pompeo.
Adapun Menlu Arab Saudi Adel al-Jubeir menyerukan dilakukannya penyempurnaan dalam kesepakatan nuklir Iran itu. Ia menegaskan, dukungan Arab Saudi terhadap kebijakan Presiden AS Donald Trump terkait kesepakatan nuklir Iran dan upaya mengevaluasi kesepakatan tersebut dengan cara memperbaiki isi kesepakatan itu. Ia lalu mengatakan, opsi terbaik dalam menghadapi Iran saat ini adalah dengan terus menambah sanksi karena tindakannya yang terus mendukung teroris.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dalam sidang kabinet mingguan hari Minggu kemarin, menegaskan akan membahas dengan Pompeo perkembangan kawasan Timur Tengah secara umum, khususnya semakin kuatnya agresi Iran dan juga isu kesepakatan nuklir Iran.
Persaingan
Pompeo memulai lawatan Timur Tengah yang meliputi Jordania dan Israel, dengan mengunjungi Arab Saudi. Ia melakukan lawatan tersebut hanya dua hari setelah mengambil sumpah sebagai Menlu AS.
Israel dan Arab Saudi saat ini dikenal sebagai musuh bebuyutan Iran. Dua negara itu kecewa terhadap kesepakatan nuklir Iran. Seperti diketahui, kesepakatan nuklir itu dicapai antara Iran dan kelompok 5 + 1 (AS, Inggris, China, Perancis, Rusia plus Jerman) pada Juli 2015. Kesepakatan itu menegaskan pembekuan program nuklir Iran dengan imbalan pencabutan sanksi internasional terhadap Iran. Namun, kesepakatan itu tidak mencakup industri rudal balistik Iran yang dianggap mengancam keamanan di kawasan Timur Tengah saat ini.
Selain Iran sendiri, dua kelompok loyalisnya, yaitu Hezbollah di Lebanon dan Houthi di Yaman, memiliki armada rudal balistik canggih. Kelompok Houthi terakhir ini sangat aktif menembakkan rudal balistik ke berbagai sasaran di Arab Saudi. Kelompok Houthi selalu berdalih, tembakan rudal balistik ke berbagai sasaran di Arab Saudi sebagai aksi balasan atas agresi militer Arab Saudi ke Yaman sejak Maret 2015.
Presiden AS Donald Trump menyebut kesepakatan nuklir Iran merupakan kesepakatan terburuk sepanjang sejarah. Trump akan menentukan keputusannya terhadap kesepakatan nuklir Iran itu pada 12 Mei.
Perancis dan Jerman disebut telah gagal membujuk Trump agar mengurungkan niatnya mundur dari kesepakatan nuklir Iran. Presiden Perancis Emmanuel Macron, Kamis (26/4), mengakui telah gagal membujuk Trump untuk tetap membiarkan kesepakatan nuklir Iran seperti saat ini.
Ia menyebut ada kemungkinan AS mundur dari kesepakatan nuklir itu. Macron telah bertemu Trump di Washington DC pada hari Selasa pekan lalu.
Kanselir Jerman Angela Merkel juga mengakui, kesepakatan nuklir Iran tidak cukup, tetapi hendaknya tetap dipertahankan dengan dilakukan penyempurnaan. Merkel telah menemui Trump pula di Washington DC pada Jumat lalu.
Sejauh ini, Pemerintah Iran masih bersikeras menolak upaya AS mundur dari kesepakatan nuklir. Koran Iran, Kayhan, edisi Minggu kemarin, mengungkapkan, ada dua opsi Iran saat ini jika AS mundur dari kesepakatan nuklir itu. Pertama, Iran mundur dari Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT). Kedua, Iran segera melakukan lagi aktivitas pengayaan uranium, seperti pada saat sebelum dicapai kesepakatan nuklir pada 2015.