Film ”Ahu Parmalim” Diputar di New York
Masyarakat penghayat, termasuk di dalamnya remaja penghayat, masih menghadapi tantangan berat di Indonesia. Padahal, sebagai remaja yang menjadi bagian dari bonus demografi Indonesia, mereka membutuhkan berbagai akses yang sama dengan remaja lain, seperti akses pada pendidikan, pekerjaan, dan kemandirian ekonomi.
Kini, jumlah remaja penghayat diperkirakan 2,5 juta orang dari total 63 juta remaja di Indonesia. Data dari Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2014 tercatat ada 239 organisasi penghayat terhadap Tuhan YME.
Data lain pada tahun yang sama dari Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementerian Dalam Negeri menunjukkan jumlah yang lebih banyak, yakni 295 organisasi dengan jumlah penghayat 9.976.720 orang. Jumlah penghayat diperkirakan lebih besar karena banyak penghayat yang memilih satu dari enam agama mayoritas agar tidak terkendala administrasi kependudukan.
Untuk mempromosikan hak-hak warga penghayat, termasuk remaja, Yayasan TIFA bekerja sama dengan Yayasan Kampung Halaman memproduksi film dokumenter pendek berjudul Ahu Parmalim.
Film ini telah diluncurkan pada 16 November 2017 bertepatan dengan Hari Toleransi Internasional. Intisari dari film ini adalah untuk mengangkat suara, cara pandang, dan sikap remaja penghayat yang berjuang mewujudkan cita-cita dengan berpegang pada ajaran agama yang mereka yakini.
Intisari dari film ini adalah untuk mengangkat suara, cara pandang, dan sikap remaja penghayat yang berjuang mewujudkan cita-cita dengan berpegang pada ajaran agama yang mereka yakini.
Sejak diluncurkan, film ini sudah diputar di 107 lokasi di beberapa daerah di Indonesia. Film ini pun telah diputar di ASEAN Short Film Festival pada 28 April 2018, di New York, Amerika Serikat.
Di Amerika, film itu juga diputar di Forum Dokumenter di City College of New York (26 April 2018); di Konsulat Jenderal RI, New York (29 April 2018) dengan tema ”Ahu Parmalim: Indonesian Religious Pluralism”; dan di acara Indonesian Diaspora of Philadelphia (5 Mei 2018).
Apa kisah yang diangkat dalam film ini?
Film ini menggambarkan kehidupan pemeluk Ugamo Malim dari pengalaman keseharian remaja bernama Carles Butar-Butar (17), si pemilik cerita. Ugamo Malim adalah salah satu agama yang bertahan dan berkembang di Indonesia.
Agama ini berawal dari gerakan spiritual yang dipimpun Sisingamangaraja XII untuk melawan penjajahan dari pemerintahan Hindia Belanda. Agama Malim memuja Debata Mulajadi Nabolon sebagai pencipta kehidupan dan menuntut pemeluknya kembali menjalani budaya Batak. Penganut ajaran agama ini kemudian disebut Parmalim.
Carles berasal dari keluarga dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah dan bercita-cita menjadi polisi. Ia membutuhkan akses yang sama seperti remaja lain untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan yang diimpikan, kemandirian secara ekonomi, dan usaha untuk meneruskan pengetahuan.
Film Ahu Parmalim ini mulai diproduksi Februari 2017 melalui proses kolaborasi pembuat film dengan para remaja terkait isu yang dianggap penting dan genting oleh remaja. Carles adalah remaja penghayat Parmalim yang menjalani dua peran besar sebagai anak laki-laki dan remaja yang kemudian dituturkan melalui cara pandang atau kreativitas pembuat film.
Pembuatan film ini diawali dengan riset dan diskusi kelompok terarah dengan melibatkan warga penghayat, kelompok remaja, orang tua, guru, dan akademisi. Yayasan Kampung Halaman kemudian menemukan persamaan inti ajaran Ugamo Malim dengan agama lain, yakni tentang menjalani hidup bersama dalam kebaikan. Hal lain yang menarik dari Ugamo Malim adalah sejarah pendidikan Parmalim yang membuka diri pada hal-hal baru.
”Pertanyaan besar saya tentang bagaimana remaja Parmalim menjalani kehidupannya terjawab lewat Carles. Ia berusaha menyeimbangkan diri antara berbakti pada keluarga dan memenuhi keinginan pribadi. Carles mengurus dirinya sebaik mungkin. Saya percaya sikap Carles berkaitan dengan apa yang Carles yakini sebagai Parmalim,” kata Cicilia Maharani Tunggadewi, sutradara Ahu Parmalim.
Ketika proses syuting, Cicilia menyadari inti ajaran Ugamo Malim serupa dengan agama lain di Indonesia yang bersepakat tentang bagaimana hidup bersama dalam kebaikan. Hal baru yang ia temukan dalam Ugamo Malim adalah bahasa, cara beribadah, ritual, lantunan gondang, simbol agama, dan ekspresi khusyuk para penghayat.
Selama mengikuti Carles dalam kehidupan sehari-harinya, Cicilia menyadari ia bertemu manusia berumur 17 tahun dengan tanggung jawab besar yang melebihi usianya. Ia, misalnya, juga harus membantu keluarganya mencari nafkah.
Kegiatan Carles padat dari pagi sampai malam. Waktu santai untuk dirinya sendiri tiba pada pukul 20.00 WIB setiap hari. ”Hari Sabtu adalah hari beribadah dan bersantai. Hari Minggu tetaplah hari bekerja, justru pada hari itu Carles dan keluarganya dapat bekerja di sawah karena sekolah libur,” kata Cicilia.
Materi ajar toleransi
Film ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada orang tua untuk memberikan kepercayaan kepada remaja dalam melakukan kegiatan yang disukainya, menentukan cita-cita, dan cara mencapainya. Selain itu, film ini juga bisa digunakan sebagai media pendidikan soal toleransi untuk remaja, masyarakat, dan pemerintah.
”Kami mendorong Anda memutarkan dan membuat ruang diskusi tentang remaja dan keberagaman secara terbuka. Relasi sosial Carles dengan teman-temannya pemeluk agama lain dalam film ini bisa dipakai untuk mengajarkan nilai-nilai toleransi antarpemeluk agama,” kata produser Ahu Parmalim, Dian Herdiany.
”Dari film ini, kita memahami toleransi terbentuk melalui interaksi sosial yang memungkinkan orang dengan kepercayaan berbeda saling belajar dan mengalami keberagaman dalam kehidupan,” ujar Dian.
Selain membuat film dokumenter, Yayasan Kampung Halaman juga mengajak Carles dan remaja lain berlatih membuat video diary. Para remaja itu bekerja dalam kelompok dan secara mandiri mengidentifikasi pengalaman mereka berkawan di sekolah dan menggali tentang toleransi.
Selanjutnya, temuan-temuan mereka diramu menjadi video diary untuk disampaikan kepada publik. Video itu diharapkan dapat menjadi media bagi mereka untuk menceritakan dan menyatakan sikapnya tentang apa yang terjadi kepada diri mereka dan lingkungan di sekitarnya.
Pembuatan video diary ini juga akan menantang kreativitas remaja sehingga setiap pribadi dapat mengeluarkan potensi dirinya, berdiskusi, menyelesaikan persoalan yang muncul, dan bekerja sama dalam tim.
Film ini didistribusikan secara daring melalui situs ahuparmalim.kampunghalaman.org sejak 16 November 2017. Film itu sudah bisa diakses publik untuk mengetahui informasi terkait Ahu Parmalim, seperti trailer, artikel, dan formulir, bagi masyarakat yang ingin mengajukan pemutaran. Distribusi film Ahu Parmalim secara daring memang demi penyebarluasan materi film supaya dapat dipahami oleh masyarakat.