KABUL, SELASA -- Para jurnalis Afghanistan terguncang, tetapi siap melawan dan bertekad terus melaporkan konflik berdarah di negeri mereka. Sehari setelah serangan bom bunuh diri ganda mengguncang Kabul, yang menewaskan sembilan jurnalis dan 16 orang lain, Selasa (1/5), puluhan editor dan eksekutif media berkumpul di lokasi ledakan untuk unjuk sikap pantang menyerah pada kelompok militan.
"Jika mereka menghancurkan sederet jurnalis, akan ada deretan jurnalis yang lebih panjang di lokasi kejadian hanya dalam beberapa jam," kata Lotfullah Najafizada, Direktur Tolo News.
Sembilan jurnalis tewas di Kabul, Senin, dalam bom bunuh diri ganda yang diledakkan di tengah kerumunan jurnalis yang sedang melakukan peliputan. Di antara jurnalis yang tewas, yaitu fotografer kantor berita Agence France Presse, Tolo News, Radio Free Europe, dan 1TV. Di hari yang sama, wartawan BBC juga tewas ditembak di Provinsi Khost.
Serangan terhadap jurnalis ini merupakan yang paling mematikan sejak jatuhnya kekuasaan Taliban pada 2001. "Upaya secara sengaja menyasar jurnalis menunjukkan betapa besarnya risiko yang dihadapi mereka ketika bertugas," kata Sekjen PBB Antonio Guterres.
Kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) mengaku bertanggung jawab atas tiga serangan kemarin yang total menewaskan 25 orang dan melukai 49 orang itu. Dalam serangan ketiga, 11 anak-anak tewas dan 16 orang terluka, termasuk anggota pasukan Italia dan Afghanistan. Pelaku bom bunuh diri meledakkan mobilnya di dekat konvoi Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) wilayah selatan Provinsi Kandahar.
Para jurnalis di Afghanistan kini menjadi sasaran serangan militan. Sejak 2016, 34 jurnalis tewas saat bertugas. Namun, nyali mereka tidak surut.
Faktor penyebab mengapa kini jurnalis menjadi sasaran NIIS, menurut Menhan AS Jim Mattis, karena NIIS berniat menghancurkan proses demokrasi di Afghanistan yang akan menggelar pemilu, Oktober mendatang, dan disiarkan media secara masif.
"Serangan semacam ini dilakukan oleh orang-orang yang tak mungkin menang di kotak suara, lalu mereka menggunakan bom," kata Mattis.
Sejak jatuhnya kekuasaan diktator Taliban, media massa Afghanistan perlahan berkembang. Namun, sejak 2016 serangan terhadap jurnalis meningkat. Sedikitnya 34 jurnalis tewas di Afghanistan selama dua tahun terakhir. Pada 2016 anggota Taliban melakukan bom bunuh diri di kantor TV Tolo menewaskan tujuh karyawan televisi. Serangan juga dilakukan, November 2017, ketika kelompok bersenjata menyerbu kantor televisi Shamsad dan menewaskan satu orang.
Fotografer AFP yang tewas, Shah Marai, awalnya fotografer independen dan meliput invasi AS tahun 2001. Ia lalu menjadi Kepala Biro Fotografer AFP di Afghanistan. Marai meninggalkan enam orang anak, termasuk seorang bayi yang baru lahir.
Melemah
Meskipun posisi NIIS tak sekuat dulu, di sisi lain kekuatan pasukan Afghanistan terus melemah. Sampai tahun lalu, total pasukan Afghanistan menyusut sampai 11 persen, menjadi 334.000 personel.
Selama hampir 20 militer AS berupaya membangun pasukan Afghanistan agar mampu melindungi wilayahnya. Ribuan pasukan AS dikirim ke Afghanistan untuk melatih pasukan lokal, pasca hengkangnya pasukan AS.
Namun, sejumlah sumber intelijen menyebutkan, terlepas dari besarnya bantuan militer AS dalam bentuk pelatihan, hampir sebagian besar personel militer Afghanistan dinilai tidak akan mampu mempertahankan wilayah-wilayah yang telah direbutdari pasukan Taliban. "Meskipun pasukan militer Afghanistan lebih kuat saat ini dibandingkan satu dekade lalu, namun mereka masih harus berjuang dengan susah payah. Ini adalah kegagalan kebijakan AS," ujar sebuah sumber. (AP/AFP/REUTERS)