Kapital atau modal milik kapitalis berperan melanggengkan kesinambungan produksi. Kesinambungan inilah yang melanggengkan perekonomian dunia. Namun, kesinambungan itu juga terkait dengan faktor lain yang amat menentukan output, yakni para pekerja. Tidak ada modal yang menghasilkan tanpa peran para pekerja.
Dalam persamaan teori ekonomi, K menyimbolkan modal dan L menyimbolkan pekerja. K dan L bersinergi menghasilkan output. Secara alamiah, K dan L seharusnya saling melengkapi. Namun, dalam sejarah perekonomian sering kali K dan L berbenturan.
Benturan itu adalah resultante dari bagi hasil output. Benturan bukan karena K dan L tertakdir untuk bentrokan. Ini semata-mata soal bagi hasil hasil. Aspek lain di balik bentrokan itu adalah perlakuan perwakilan K terhadap L.
Bagi hasil dan perlakuan ini yang selalu menjadi masalah dari waktu ke waktu. Hal itu juga setidaknya tergambar dari aksi Hari Buruh Sedunia yang berlangsung pada Selasa, 1 Mei, di seantero dunia. ”Demonstran di jagat ini turun ke jalan untuk menuntut kondisi pekerjaan,” demikian situs CNN memberitakan, Selasa (1/5/2018).
Demonstran yang adalah pekerja juga berkampanye soal penetapan janji soal 8 jam kerja dalam sehari dan seruan mereka akan perlunya serikat pekerja untuk memperjuangkan hak-hak para anggota, para pekerja.
Ini merupakan kelanjutan dari aksi protes yang terjadi pada bulan Mei 1886 di Chicago, Amerika Serikat. Hari Buruh Sedunia (May Day) juga mengambil momen pada bulan Mei berkaitan dengan tewasnya 4 demonstran di tahun itu di Chicago. Kisah ini didalami Profesor William J Adelman, seorang guru yang juga pernah mengorganisasi perjuangan nasib para guru di Morton West High School di Berwyn pada dekade 1990-an (Chicago Tribune, 21 September 2009). Adelman juga menjadi sejarawan soal perjuangan buruh dan kemudian menjadi pengajar di University of Illinois, Chicago.
Perjuangan buruh tidak hanya dipicu kejadian di AS itu, tetapi juga oleh banyak kejadian serupa, termasuk di Eropa, yang memunculkan ide soal film berjudul ”Oliver Twist”. Ini merujuk pada sebuah novel karya Charles Dickens pada 1828, yang mengisahkan seorang anak yatim piatu bernama Oliver Twist di Inggris.
Di akhir dekade 2000-an, muncul istilah ’we are 98’, merujuk pada ketimpangan kekayaan yang dimiliki 98 warga dunia berhadapan dengan nilai kemakmuran milik kaum superkaya global, yang hanya sekitar 2 persen dari total penduduk global.
Dickens mengangkat tema kemiskinan, kelas sosial, dan kekerasan yang terjadi pada masa revolusi industri. Ini bukan melulu soal perjuangan para pekerja, tetapi kemiskinan yang muncul di era revolusi industri.
Aura perjuangan buruh dan ketimpangan kelas sejak itu tidak pernah selesai. Di akhir dekade 2000-an, muncul istilah ”we are 98”, merujuk pada ketimpangan kekayaan yang dimiliki 98 warga dunia berhadapan dengan nilai kemakmuran milik kaum superkaya global, yang hanya sekitar 2 persen dari total penduduk global.
Hal ini juga terus menjadi perhatian para ekonom. Ini adalah soal pembagian kekayaan yang timpang dan berefek signifikan pada permintaan ekonomi dan selanjutnya pertumbuhan ekonomi. Peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001, Joseph E Stiglitz, misalnya, sering mengatakan, ”Ketimpangan berpotensi melemahkan perekonomian.” (Forbes, 25 Juni 2012)
Suara yang sama
Hal itu tertangkap dari aksi demonstrasi di seluruh dunia. Di Turki, misalnya, seperti diberitakan CBS, 1 Mei, ”Warga menyuarakan hak-hak para pekerja.” Suara serupa juga muncul dari para demonstran di Moskwa, Rusia. Pemerintah diminta mengatasi isu-isu para pekerja. Ini bukan melulu soal keluhan para pekerja di Turki dan Rusia, melainkan keluhan universal tentang nasib para kaum buruh.
Di lebih dari 70 kota di Spanyol juga muncul seruan kesetaraan jender, peningkatan gaji dan pensiunan. Sekjen UGT (sebuah pekerja di Spanyol), Pepe Alvarez, menyuarakan soal redistribusi kekayaan.
Di Sri Lanka pun muncul seruan soal perjuangan akan hak-hak. Di Manila, 5.000 pekerja dari berbagai kelompok menuntut janji Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Presiden ini saat berkampanye pemilihan presiden pernah berjanji mengakhiri status pekerja kontrak dan penggunaan massal pekerja temporer. Di Seoul, Korea Selatan, juga muncul seruan soal peningkatan upah minimum pekerja.
Di Kamboja, Perdana Menteri Hun Sen berada bersama 5.000 buruh pabrik garmen. Dia berterima kasih kepada para pekerja.
Lepas dari adanya dugaan soal aksi-aksi susupan, ada benang merah pada peringatan Hari Buruh Sedunia, soal sinergi dan tuntutan akan saling menghargai dan bagi hasil yang berkeadilan dalam proses produksi. Tidak selamanya hal ini berkaitan dengan perjuangan kelas juga bukan semata-mata bernuansa perjuangan kaum proletar.
Hari Buruh Sedunia memohonkan hubungan industrial yang baik yang sejauh ini dikenal dilakukan dengan relatif apik oleh negara-negara Skandinavia.
Ada pesan dari Hari Buruh Sedunia ini, yakni menyiratkan tentang perlunya keadilan sosial. Ekonom AS terkenal, Dr Milton Friedman, pernah mengatakan, perekonomian adalah juga tentang kehidupan yang berkeadilan. (AP/AFP/REUTERS)