DAMASKUS, RABU Menjelang batas waktu 12 Mei yang diberikan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk mengakhiri kesepakatan nuklir Iran, kubu yang menginginkan kesepakatan nuklir tetap berlanjut semakin keras sikapnya. Selain AS yang mengancam untuk keluar, lima negara adidaya lain, yaitu Perancis, Jerman, Inggris, Rusia, dan China, berkeinginan agar kesepakatan nuklir Iran dilanjutkan.
Presiden Perancis Emmanuel Macron yang pekan lalu bertemu dengan Trump menegaskan komitmen Perancis menjaga kelanjutan kesepakatan nuklir agar ketegangan di kawasan tidak mengalami eskalasi.
”Saya tidak tahu apa yang akan diputuskan Presiden AS pada 12 Mei. Saya hanya ingin menyatakan bahwa kita harus mempersiapkan negosiasi yang lebih luas karena tak ada yang menginginkan perang di kawasan dan tak ada yang menginginkan eskalasi ketegangan di sana,” kata Macron dalam kunjungan selama dua hari di Australia, Rabu (2/5/2018).
Sebaliknya, Washington kemarin menunjukkan isyarat untuk semakin menekan Iran dengan mengakui ”bukti-bukti” yang dibawa PM Israel Benjamin Netanyahu. Netanyahu mengatakan bahwa Iran tidak pernah berhenti mempersiapkan program nuklirnya sejak 2003 dan saat ini program nuklir Iran telah sampai pada tahap yang ”signifikan”.
Hanya saja, bukti-bukti tersebut dipatahkan kelompok kajian Diplomacy Works yang dibentuk mantan Menteri Luar Negeri AS John Kerry yang terlibat dalam kesepakatan nuklir pada 2015.
”Netanyahu mengklaim, Israel memperoleh informasi terbaru yang menunjukkan bahwa Iran berbohong atas program nuklirnya sejak 2003. Kami sudah lama mengetahui apa yang diungkapkan itu dan itu bukan berita baru. Inilah alasan mengapa AS dan negara adidaya lain memastikan bahwa Iran tidak berbohong (melalui kesepakatan nuklir).”
Pemerintah China juga langsung merespons pernyataan Netanyahu. Menurut Beijing, Badan Energi Atom Internasional PBB telah melakukan inspeksi yang sangat ketat terhadap program nuklir Iran dan telah memberikan 10 sertifikat yang menyatakan Iran lulus pemeriksaan dan tunduk pada aturan.
”Apa yang penting saat ini semua pihak yang terkait harus menyadari problem yang lebih besar dan kepentingan jangka panjang di kawasan,” kata juru bicara China Hua Chunying. China merupakan salah satu dari lima negara yang memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB.
Bumerang
Dalam tulisannya di Reuters, Sayed Hossein Mousavian, ahli masalah kebijakan nuklir di Universitas Princeton dan pernah menjadi jubir Iran dalam negosiasi kesepakatan nuklir, menyatakan, pendekatan Trump yang terus merundung Iran akan menjadi bumerang.
Ia mengingatkan rekam jejak hubungan Iran-AS sejak 1979, di mana Iran tidak pernah tunduk pada tekanan. Semua pemimpin Iran, kata Mousavian, akan membalas setiap tekanan dari pihak mana pun dengan kekuatan yang seimbang.
Hal itu antara lain terjadi ketika konflik pada 2002-2015, di mana AS menuntut penghentian total pengayaan uranium di Iran. Iran membalasnya dengan memperluas program nuklirnya.
Perang Irak-Iran, lanjut Mousavian, merupakan testamen bahwa Iran tidak akan tunduk, bahkan di dalam situasi yang luar biasa menekan sekalipun. Sepanjang perang brutal yang berlangsung selama delapan tahun, Saddam Hussein didukung oleh hampir semua kekuatan global, termasuk AS yang mendukung penggunaan persenjataan kimia dan biologi Irak. ”Namun, Iran keluar dari perang dengan kondisi yang solid,” tulisnya.
Ia menyebutkan bahwa pendekatan Trump bisa berujung pada perang. Kondisi itu tidak hanya akan menimbulkan konsekuensi berat bagi AS dan Iran, tetapi juga di kawasan Timur Tengah. ”Namun, Trump memiliki alternatif kebijakan, yaitu diplomasi,” katanya.