WASHINGTON, KAMIS -- Amerika Serikat akan menjadi penentu, apakah kesepakatan nuklir Iran akan berlanjut atau tidak pada 12 Mei mendatang. Namun, AS juga sekaligus bermain api, karena Iran bukanlah negara yang mudah "ditekan" dan tunduk pada kemauan AS.
Peter van Buren, yang pernah bekerja di Departemen Luar Negeri AS selama 24 tahun, dalam analisisnya di kantor berita Reuters menyebutkan, jika AS menarik diri dari kesepakatan yang akan dibalas dengan sikap yang sama oleh Iran, kemungkinan perang menjadi terbuka. Bisa jadi, tulis Van Buren, ini memang tujuan yang diinginkan AS.
Van Buren menjelaskan, Trump ingin agar kesepakatan tahun 2015 yang ditandatangani oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (plus Jerman) itu dirombak. Trump, antara lain, ingin kesepakatan itu ditambah persyaratan bahwa Iran akan menghentikan program rudal balistiknya.
Program rudal balistik tidak masuk dalam kesepakatan 2015. Lagipula, tulis Buren, kemampuan rudal balistik merupakan jantung pertahanan militer Iran.
Iran tentunya sulit melupakan ketika negaranya dihujani serangan udara oleh pesawat-pesawat tempur Irak yang didukung oleh negara-negara Barat, termasuk AS, dalam perang tahun 1980-an. Iran yang dikenai sanksi saat itu tak memiliki kapabilitas membalas serangan. Pengalaman ini membuat isu program rudal tidak bisa dinegosiasikan.
Trump juga menginginkan agar para pemeriksa dari PBB memperoleh akses tak terbatas terhadap seluruh area di Iran, termasuk area militer. Namun, Van Buren menyebutkan, hal ini pasti akan sulit dinegosiasikan.
Melalui pesan video yang diunggah di YouTube, Menlu Iran Mohammad Javad Zarif menegaskan, Iran tak akan merenegosiasikan kesepakatan 2015. "Saya perjelas sekali lagi: kami tak akan menyerahkan keamanan kami, tidak juga akan merenegosiasikan atau menambah kesepakatan yang sudah dilaksanakan secara jujur," katanya.
Kemungkinan terburuk
Iran diyakini akan segera memulai program nuklirnya jika AS menarik diri dari kesepakatan. Keputusan ini akan berdampak pada rencana perjanjian denuklirisasi Korea Utara. "Bagaimana mungkin diplomat AS bisa menjawab pertanyaan diplomat Korut soal apakah AS tidak akan berubah sikap dalam tiga tahun mendatang?" tulis Van Buren.
Jika konflik AS-Iran terjadi, negara-negara di Eropa diperkirakan akan "malas" terlibat dalam perseteruan di Timur Tengah. Hubungan transatlantik kemungkinan akan memburuk seperti tahun 2003 ketika AS menginvasi Irak.
Dalam situasi seperti itu, sangat mungkin China dan Rusia mengulurkan tangan pada Iran dan menolak menerapkan kembali sanksi bagi Iran.
Skenario berbahaya yang terus didorong Israel adalah perang. Israel sejak lama menginginkan fasilitas nuklir Iran dihancurkan. Namun, kata Van Buren, jika yang dijadikan acuan adalah penghancuran program nuklir di Irak, hal itu tak sebanding.
Fasilitas nuklir Iran banyak, tersebar, tak terlihat dan dilindungi oleh sistem pertahanan udara yang relatif kuat. Hal ini masih belum ditambah jika Rusia ikut terlibat.
Sampai kemarin sejumlah nara sumber di Gedung Putih menyebutkan, Trump masih menunjukkan isyarat kuat untuk keluar dari kesepakatan, namun hal itu tetap tidak bisa diduga. Masih ada kemungkinan Trump mempertahankan kesepakatan. Alasannya lebih personal, yaitu ingin menjaga hubungan dengan Perancis, dan tak ingin Presiden Emmanuel Macron yang mencoba membujuknya kehilangan muka. (AP/AFP/REUTERS)