Seandainya Singapura dan Malaysia Tetap Bersatu
Ketika Inggris ingin melepaskan cengkeramannya di Asia Tenggara dan mengumumkan Malaya akan menjadi negara merdeka, persoalannya adalah bagaimana menyatukan tiga etnis besar di negara itu, yaitu Melayu, China, dan India. Inggris mengusulkan agar warga ketiga etnis itu memperoleh kewarganegaraan yang setara.
Namun, sejak dibentuk pada 1946, United Malays National Organisation (UMNO) menyatakan, jika merdeka, negara baru itu harus dijalankan etnis Melayu.
Kelompok China di Malaya (Asosiasi China Malaya) bersedia bekerja sama dengan UMNO mempersiapkan kemerdekaan asal semua etnis memperoleh hak setara. Mereka sepakat, kepala negara Malaya akan dipilih dari para sultan dan Melayu menjadi bahasa resmi. Etnis China dan India akan memiliki perwakilan di parlemen dan kabinet.
Inilah cikal bakal berdirinya Malaysia. Menurut Times of India, pada 31 Agustus 1957 Tunku Abdul Rahman, perdana menteri pertama Malaya, mendeklarasikan kemerdekaan Malaya dengan meneriakkan kata ”merdeka” sebanyak tujuh kali.
Singapura yang juga merupakan koloni Inggris dan penduduknya didominasi etnis China sudah lebih dulu memperoleh otonomi pada 1955 dan memilih Lee Kuan Yew sebagai PM pertama. Pada 1961 Lee mengusulkan gagasan untuk membentuk ”Malaysia” dan menyerahkan usulannya kepada Tunku Abdul Rahman dan Wakil PM Malaya Tunku Abdul Razak. Lee melihat bahwa merger itu akan menghasilkan manfaat ekonomi dan keamanan bagi Singapura. Lee menjamin, Malaya tetap akan menguasai politik di Federasi.
Abdul Rahman menyetujui gagasan pembentukan Malaysia yang terdiri dari Brunei Darussalam, Malaya, Borneo Utara, Sarawak, dan Singapura. Referendum yang dilakukan di Singapura mendukung penyatuan ini, tetapi di Brunei Darussalam, gagasan ini ditolak. Akhirnya Federasi Malaysia yang terdiri dari Malaya, Singapura, Sarawak, dan Borneo Utara terbentuk pada 16 September 1963.
Federasi ini ditentang Indonesia yang saat itu dipimpin Presiden Soekarno dan Filipina. Alasannya, Federasi ini memberi peluang kepada Inggris melanjutkan kekuasaannya atau, mengutip Soekarno, itu tak ubahnya dengan neokolonialisme.
Bubar
Belum sampai dua tahun Federasi berjalan, konflik tak henti bergulir, yang umumnya didasari isu rasial. Intinya, tak ada rasa saling percaya antara Singapura yang didominasi etnis China dan Malaya yang didominasi etnis Melayu.
Terjadilah kerusuhan rasial besar di wilayah Singapura antara etnis China dan Melayu pada Juli dan September 1964 yang total menewaskan 46 orang dan ratusan luka-luka. Peristiwa itu dijadikan isu politik oleh para politisi UMNO yang menuduh etnis Melayu di Singapura tidak terlindungi dan mereka tidak memperoleh privilese seperti etnis Melayu di Malaysia (eresources.nlb.gov.sg)
Etnis Melayu dalam Konstitusi Federasi memperoleh privilese seperti tertuang dalam Pasal 153. Disebutkan, negara memberikan privilese kepada etnis Melayu dan suku-suku di Serawak dan Sabah dalam hal pendidikan, bisnis, perdagangan, dan lainnya (malaysia-today.net). Hal ini ditentang Lee yang menginginkan kesetaraan warga masyarakat berdasarkan meritokrasi.
Meskipun upaya rekonsiliasi diupayakan, perselisihan mencapai titik yang tidak bisa dijembatani. PM Malaysia Tunku Abdul Rahman memutuskan mengeluarkan Singapura dari Federasi yang langsung disetujui parlemen yang dikuasai kelompok Melayu pada 9 Agustus 1965.
Lee Kuan Yew, seperti dikutip The New York Times, dengan mata basah mengumumkan, sejak saat itu Singapura menjadi negara berdaulat dengan nama Republik Singapura. ”Ini adalah momen yang sangat menyedihkan karena dalam seluruh hidup saya, saya percaya akan persatuan dua wilayah. Ini adalah warga yang terhubungkan oleh geografi, ekonomi, dan persaudaraan,” kata Lee.
Sejak pemisahan itu, kedua negara bersaing keras menjadi yang terbaik. Pada awal 1970-an, hampir tiga perempat penduduk Malaysia berada di bawah garis kemiskinan. Namun, kebijakan ekonomi baru (NEP) Malaysia dengan rentang lima tahunan dan fokus pada pengembangan pertanian, manufaktur, dan sumber daya alam telah membawa Malaysia menjadi negara nomor tiga terkaya di Asia Tenggara.
Demikian juga dengan Singapura, negara pulau yang tak memiliki sumber daya alam ini berhasil menjadi negara dengan status kelas dunia. Menurut IMF Economic Outlook (Oktober 2017), Singapura berada di peringkat ke-12 dunia dengan PDB 55.231 dollar AS, sedangkan Malaysia berada di peringkat ke-70 dunia dengan PDB 10.440 dollar AS.
Muncul pertanyaan hipotetis, seandainya saja Federasi itu bertahan, akan seperti apa dahsyatnya kekuatan ekonomi mereka? Bisa jadi Federasi menjadi kekuatan besar di kawasan, bahkan di Asia, tetapi bisa juga sebaliknya, ia tak berkembang karena terus dirundung konflik. (MYRNA RATNA)