Lebanon Berupaya Mengikis Sistem Politik Sektarian
Seharusnya masa tugas parlemen hasil pemilu 2009 itu berakhir Juni 2013. Namun, meletupnya krisis Suriah yang berdampak besar terhadap situasi di dalam negeri Lebanon menyebabkan pemilu parlemen negara itu ditunda lagi.
Peta politik Lebanon pun semakin terpolarisasi dalam beberapa tahun terakhir ini menyusul munculnya kubu 8 Maret yang pro-Iran/Suriah dan kubu 14 Maret yang anti-Iran/Suriah. Kubu 8 Maret dipimpin Hezbollah yang loyalis Iran dan kubu 14 Maret dipimpin Future Movement yang loyalis Arab Saudi.
Akibat pertarungan sengit kubu 8 Maret dan 14 Maret itu, Lebanon tidak hanya gagal menggelar pemilu parlemen sesuai jadwal, tetapi juga kursi presiden kosong 31 bulan. Setelah jabatan Presiden Michel Suleiman berakhir 25 Mei 2014, parlemen negara itu gagal memilih presiden baru akibat gesekan kepentingan antara kedua kubu.
Presiden baru Lebanon, Michel Aoun, baru terpilih pada 31 Desember 2016 setelah tercapai kompromi politik di antara kedua kubu. Enam bulan seusai Aoun terpilih menjadi presiden, kedua kubu menyepakati pemilu parlemen digelar dengan sistem baru, sistem proporsional.
Jadwal pemilu parlemen juga disepakati digelar 6 Mei 2018 atau 11 bulan setelah undang-undang baru pemilu yang mengadopsi sistem proporsional disepakati pada Juni 2017. Tercatat ada 597 calon legislatif (caleg)—di antaranya 86 perempuan caleg—yang akan memperebutkan 128 kursi parlemen dengan 15 daerah pemilihan (dapil).
Sistem pemilu proporsional itu baru kali ini diterapkan di Lebanon selama 91 tahun terakhir, yakni sejak era konstitusi pertama Lebanon tahun 1926- 1927. Visi penerapan sistem pemilu proporsional ini ditengarai sebagai upaya mengakhiri secara bertahap budaya sektarian dalam politik negara tersebut.
Budaya sektarian dalam sistem politik Lebanon sudah dikenal dan diberlakukan selama era tiga konstitusi negara itu, yaitu era konstitusi pertama (1926-1927), Piagam Nasional tahun 1943, dan Konstitusi Taif (1989-1990). Hal itu disimbolkan dengan pembagian pimpinan puncak negara menurut agama dan mazhab agama: presiden dijabat Kristen Maronit, perdana menteri untuk Muslim Sunni, dan ketua parlemen bagi Muslim Syiah.
Pembagian semacam itu juga berlaku di jajaran kabinet, anggota parlemen, dan pejabat. Di parlemen, sesuai Konstitusi Taif 1989-1990, kaum Muslim dan Kristen mendapat porsi 50-50, yakni 128 kursi parlemen dibagi 64 kursi untuk kaum Kristen dengan berbagai alirannya dan 64 kursi untuk kaum Muslim dengan berbagai alirannya (Sunni, Syiah, dan Druze).
Tak ada pembagian
Dalam UU pemilu 2017, tidak ada lagi pembagian 50-50 persen itu. Namun, banyak pengamat mengatakan, UU itu tidak akan bisa mengakhiri budaya sektarian dalam politik di Lebanon. Pemilu 6 Mei ini secara de facto dinilai akan tetap melahirkan atau masih didominasi budaya sektarian.
Pasalnya, pembagian 15 dapil secara de facto masih mencerminkan budaya sektarian. Dapil Beirut I, meliputi distrik-distrik di Beirut timur dengan penduduk mayoritas Kristen, misalnya, mempunyai jatah 8 kursi parlemen. Hampir dipastikan 8 kursi akan diborong kaum Kristen. Adapun dapil Beirut II yang meliputi distrik-distrik di Beirut barat dengan penduduk mayoritas Muslim memiliki 11 kursi parlemen. Hampir dipastikan juga, mayoritas dari 11 kursi itu akan didapat para caleg Muslim.
Meski begitu, tidak ada kepastian kaum Muslim bakal mendapat 64 kursi, begitu juga dengan kaum Kristen, seperti tertera pada Konstitusi Taif. UU pemilu 2017 memberi kebebasan penduduk Lebanon untuk memilih caleg sesuai hati nurani, tanpa memandang agama dan mazhab agama.
Bisa jadi dalam pemilu kali ini, kaum Muslim mendapat lebih atau kurang dari 64 kursi, begitu juga kaum Kristen. Tidak ada jaminan juga bagi kaum Muslim Syiah mendapat jatah 27 kursi seperti yang terjadi selama ini.
Karena itu, hasil pemilu 6 Mei ini sangat ditunggu-tunggu, apakah sama atau berbeda dengan pemilu-pemilu sebelum hasil Konstitusi Taif. Jika berbeda, bisa saja ini menjadi titik awal bagi berakhirnya sistem sektarian, dimulai dari lembaga legislatif.
Mencair
Dalam konstelasi politik di Lebanon selama hampir 20 tahun terakhir ini, dikotomi Muslim-Kristen sudah hampir mencair. Lahirnya kubu 8 Maret dan 14 Maret tidak dilatarbelakangi faktor agama atau mazhab agama, tetapi lebih dipersatukan oleh kesamanan kepentingan politik dalam negeri dan regional.
Di kubu 8 Maret yang dipimpin Hezbollah, misalnya, terdapat faksi Kristen, yaitu Free Patriotic Movement pimpinan Presiden Michel Aoun (Kristen Maronit). Di kubu 14 Maret yang dimotori Future Movement pimpinan Saad Hariri (Muslim Sunni) juga terdapat faksi Kristen, Lebanese Forces pimpinan Samir Geagea.
Masih jadi pertanyaan juga, apakah polarisasi kubu 8 Maret dan 14 Maret itu masih relevan setelah pemilu 6 Mei ini? Future Movement dari kubu 14 Maret dan Free Patriotric Movement dari kubu 8 Maret bersaing di sebuah dapil dan berkoalisi di dapil lain. Hal ini juga terjadi pada faksi-faksi politik lain dari dua kubu itu di sejumlah dapil.
Hasil pemilu ini bisa memengaruhi pula kebijakan luar negeri Lebanon nanti, khususnya terkait konflik Suriah.