Rakyat Lebanon Memilih
Setelah sembilan tahun, rakyat kembali mengikuti pemilu Lebanon. Berbagai kalangan menantikan hasil pemilu yang menggunakan sistem berbeda tersebut.
KAIRO, KOMPAS Di tengah penjagaan keamanan yang sangat ketat, rakyat Lebanon, Minggu (6/5/2018), kembali memberikan suaranya untuk memilih 128 anggota parlemen. Pemilu ini diadakan setelah absen sejak tahun 2009.
Kementerian Dalam Negeri Lebanon membatasi gerakan kendaraan dan warga di seantero negeri dalam upaya mengamankan jalannya pemilu parlemen tersebut. Lebih dari 20.000 petugas keamanan diterjunkan untuk mengamankan pemungutan suara. Uni Eropa menurunkan 130 peninjau untuk turut mengawasi langsung pelaksanaan pemilu parlemen Lebanon.
Tercatat ada 597 calon legislatif (caleg), 86 orang di antaranya perempuan, yang akan bertarung memperebutkan 128 kursi parlemen di 15 daerah pemilihan (dapil). Nasib para caleg ditentukan 3,7 juta pemilih dari total sekitar 6 juta penduduk Lebanon. Pemungutan suara, kemarin, dimulai pukul 07.00 waktu setempat dan berakhir pukul 19.00.
Hingga pukul 15.00, diberitakan sudah lebih dari 30 persen dari jumlah warga yang memiliki hak pilih memberikan suara. Porsi warga yang memberikan suara diperkirakan mencapai 60 persen dari jumlah pemilih. Pada pemilu parlemen tahun 2009, persentase warga yang memberikan suaranya 54 persen.
Presiden Lebanon Michel Aoun seusai memberikan suara di dapilnya di Beirut selatan menyerukan agar rakyat Lebanon berbondong-bondong memberikan suara mereka di tempat pemungutan suara. Menurut dia, hari Minggu kemarin bagi
rakyat Lebanon adalah hari terpenting dalam penggunaan hak politik.
”Parlemen merupakan lembaga induk demokrasi yang dari lembaga tersebut terbagi kekuasaan,” ujar Aoun yang menjabat Presiden Lebanon sejak 31 Desember 2016.
Adapun PM Lebanon Saad Hariri menyebut pemilu adalah pesta demokrasi. Ia juga meminta rakyat Lebanon memberikan hak suara mereka.
Penundaan
Pemilu parlemen seharusnya digelar pada 2013 bersamaan dengan berakhirnya masa tugas parlemen hasil pemilu 2009. Namun, pemilu parlemen tertunda dua kali karena pertarungan politik di dalam negeri sebagai dampak dari krisis Suriah. Penundaan pemilu juga bertujuan memberi kesempatan bagi pemberlakuan perubahan sistem pemilu.
Proses politik Lebanon disebut mengalami kebuntuan mulai tahun 2013 hingga terpilihnya Michel Aoun sebagai presiden Lebanon pada Desember 2016. Kebuntuan itu merupakan akibat dari polarisasi sangat tajam antara kubu pro-Iran/Suriah yang dikenal kubu 8 Maret dan kubu pro-Arab Saudi yang dikenal sebagai kubu 14 Maret.
Pemilu parlemen Lebanon kali ini untuk pertama kalinya menggunakan sistem proporsional. Pemilu ini disebut sebagai upaya untuk membuka lembaran baru dalam perjalanan sejarah demokrasi Lebanon yang dimulai sejak era konstitusi perdana tahun 1926-1927.
Melalui sistem pemilu proporsional, Lebanon diharapkan bisa menghapus atau mengurangi budaya sektarian dalam politik negara itu yang tertanam selama 91 tahun terakhir.
Hasil awal pemilu parlemen bisa diketahui pada Minggu malam, beberapa saat setelah berakhirnya pemungutan suara. Rakyat Lebanon kini menunggu hasil pemilu parlemen yang berpijak pada sistem proporsional, yang bisa sama atau berbeda dengan hasil pemilu 2009. Saat itu pemilu berdasarkan Konstitusi Taif tahun 1989-1990.
Dibagi lagi
Sistem politik Lebanon sesuai Konstitusi Taif 1989-1990 adalah 128 kursi parlemen dibagi 50-50 persen antara kaum Muslim (64 kursi) dan kaum Kristen (64 kursi).
Dari porsi masing-masing itu, dilakukan pembagian lagi antara sekte atau aliran di dalamnya. Dalam kelompok Muslim, kaum Muslim Syiah mendapat porsi 27 kursi. Sisanya dibagi antara kaum Muslim Sunni dan Druze.
Semua kekuatan politik dari berbagai kelompok itu kini berjuang keras agar perolehan kursi dalam pemilu parlemen sekarang minimal tidak berkurang dari perolehan kursi pada pemilu 2009.