Melintasnya pemimpin Korea Utara Kim Jong Un menggunakan kereta akhir Maret lalu memunculkan fenomena baru di Dandong. Kota di China yang berbatasan langsung dengan Korut itu bergeliat. Properti di kota itu laris manis dalam waktu singkat.
Dandong adalah kota di China yang menjadi perantara hubungan dagang Beijing-Pyongyang. Kota itu lesu darah, sejak Amerika Serikat menghukum Pyongyang atas aneka tes nuklir dan rudal jarak jauh. Komoditas dagang seperti makanan laut dam tekstil terhantam. Ratusan warga Korut yang bekerja di pabrik-pabrik milik warga China di kota itu harus pulang.
Mencairnya diplomasi di Semenanjung Korea belakangan ini disambut gembira oleh warga Dandong. Ada tumpang tindih antara mereka yang ingin kembali membuka usaha, atau hidup di kota itu, dan spekulan. Mereka memburu properti di Dandong dengan harapan harganya melesat naik. Nyaris tak ada kekhawatiran seperti saat-saat sebelumnya: kota dengan 2,4 juta penduduk itu bisa saja menerima luapan pengungsi dari Korut dan bahkan terdampak radiasi nuklir Pyongyang.
Pada 26 April 2018, sehari sebelum pertemuan pemimpin Korsel dan Korut, Kantor Pendaftaran Properti Dandong menyatakan jumlah aplikasi yang mendaftarkan transaksi properti dalam beberapa hari terakhir melampaui kapasitas harian yang mencapai 260 transaksi. “Dua pekan terakhir, jumlah warga yang menelepon dan menanyakan properti atau ingin datang langsung untuk membeli melonjak,” kata Li Xinyu, CEO Aijia Real Estate Co, sebuah perusahaan properti di Dandong. “Saya menerima rata-rata 20 panggilan telepon per hari dan 10 orang per hari langsung datang untuk membeli apartemen.”
Dandong terletak di utara Sungai Yalu, penanda langsung perbatasan China-Korut. Penjaga perbatasan Korut dapat terlihat dari pinggir sungai. Mereka kerapkali berpatroli dengan kapal cepat di sungai. Dua jembatan—masing-masing untuk kendaraan bermotor dan kereta api—menghubungkan kedua negara lewat Dandong.
Pengembang ambisisus mengembangkan zona khusus, Zona Baru Dandong, sebagai antisipasi pembukaan Jembatan Baru Sungai Yalu. Jembatan direncanakan menghubungan Dandong dengan kota di Korut, yakni Sinuiju. Zona Baru diharapkan menghadirkan investasi miliaran dollar AS. Namun, jembatan 350 juta dollar AS itu belum juga dibuka. Di sisi Korut, belum ada aktivitas fisik atas pengembangan yang diidam-idamkan itu.
Pada Januari lalu, Zona Baru Dandong layaknya kota hantu. Apartemen, toko, dan restoran lengang. Akibatnya, harga rumah pada Maret lalu turun 3,7 persen.
Kini, agen properti di Dandong bersemangat menyambut calon pembeli. Ada tanda-tanda kenaikan harga properti. “Harga rumah di Zona Baru Dandong naik rata-rata 20-30 persen dua pekan terakhir. Ada harapan Korut membuka diri bagi perdagangan dan bisnis,” tutur Li. Menurut dia, para pembeli properti baru bukanlah mereka yang akan tinggal di Dandong, tetapi para investor dan spekulan.
Harga rumah di Zona Baru Dandong naik rata-rata 20-30 persen dua pekan terakhir. Ada harapan Korut membuka diri bagi perdagangan dan bisnis.
Hal itu juga diakui Dong Tianqi, salah satu agen properti Anjia Property Co. Menurut dia, para spekulan itu berasal dari kota-kota besar, termasuk Beijing dan Dalian. Para investor tidak saja menunggu perkembangan pendekatan baru kedua Korea dan hubungan Beijing-Pyongyang. Mereka juga menunggu realisasi pertemuan Kim Jong Un dengan Presiden AS Donald Trump.
Satu-satunya pemberat “harapan” atas kota seperti Dandong adalah masih berlakunya sanksi PBB atas Korut. Pebisnis China belum dapat melepas keragun atas pengaruh buruk dari sanksi itu bagi dunia usaha, khususnya di Korut, dan perbatasan kedua negara. Mereka ragu menanamkan investasi-investasi besar selama sanksi masih diterapkan atas Pyongyang.
“Terlalu dini untuk memulai pembangunan dan perbaikan dalam skala besar. Masyarakat internasional menyambut baik langkah-langkah Korut. Dewan Keamanan PBB perlu kiranya mengurangi atau menghapus -sanksi,” kata Lu Chao, Direktur Institut Studi Perbatasan di Akademi Ilmu Sosial Liaoning.