Kolaborasi China-Jepang, Panggilan Zaman
Era Asia berjalan relatif mulus dengan momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Tidak ada kawasan lain di dunia melaju tinggi secara ekonomi selain Asia yang tumbuh di atas 5 persen, sementara rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia sekitar 3 persen.
Pemain utama ekonomi dunia saat ini juga ada di Asia, yakni China dan Jepang. Kibasan daya ekonomi dua negara ini turut menggeliatkan perekonomian negara-negara tetangga yang juga ambisius meraih kemakmuran. Terima kasih pada pembangunan berpola angsa terbang pimpinan Jepang di masa lalu yang turut memicu kemakmuran Asia.
Keberadaan macan-macan Asia lainnya membuat belahan dunia ini menjadi kawasan tersibuk sebagai zona ekonomi, sebagaimana selalu muncul dalam laporan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.
Untungnya perseteruan atau kebencian politik antara China dan Jepang akibat warisan sejarah masa lalu tidak menghambat kolaborasi ekonomi yang telah berjalan alamiah. Ini tak lebih dari peran invisible hand, istilah yang dipopulerkan Adam Smith, di mana ekonomi mengatur alamiah segala transaksi, didasarkan pada asas homo economicus.
Memang hanya urusan “uang” yang relatif mampu menyatukan kedua negara. “Hubungan semata-mata tidak lebih dari uang,” demikian Kerry Brown lewat artikelnya berjudul “The Most Dangerous Problem in Asia: China-Japan Relations” di situs The Diplomat, 31 Agustus 2016.
Brown adalah seorang profesor studi China dan Direktur Lau China Institute di King’s College, London, serta peneliti di Chatham House, London.
Brown mengutip buku seorang akademisi AS bernama June Teufel Dreyer berjudul “Middle Kingdom and Empire of the Rising Sun”. Sebesar 70 persen bantuan Jepang pada dekade 1980-an mengalir ke China.
Saat China membuka pasar sejak 1978, Jepang memasok teknologi dan menjadi mitra pengetahuan. Reformasi ekonomi China tidak akan berhasil jika bukan karena peran Jepang, tanpa mengecilkan peran pihak-pihak lainnya.
Membuang kenangan pahit
Kini ada niat Jepang dan China untuk memantapkan kerja sama ekonomi dan memiliki visi baru tentang kerja sama di masa depan. Keduanya secara perlahan mencoba menepis kepahitan akibat perseteruan berusia 1.500 tahun.
Seperti dituliskan The Economist pada 9 September 2017 dua negara ini paling tak akur beratus-ratus tahun dan bahkan semakin menjauh satu sama lain.
Dua bangsa itu memang memiliki akar budaya yang sama, penganut paham Konfusianisme dan Buddhisme. Namun di luar itu keduanya berseteru sengit termasuk para kaisar Jepang menolak memberi respek dan terlibat perang dengan China, hingga puncaknya pada periode 1895 – 1945.
Bahkan dalam beberapa tahun terakhir tidak ada saling kunjungan di antara para petinggi negara. Hubungan sempat memuncak saat Presiden Hu Jintao berkunjung ke Jepang tahun 2008 dibalas kunjungan PM Taro Aso pada 2009. Pada 2012 pecah kemelut wilayah di Kepulauan Senkaku yang dikuasai Jepang tetapi juga diklaim China sebagai wilayahnya dengan nama Kepulauan Diaoyu. Hubungan pun terus dingin sejak itu.
Menurut Brown, relasi dua bangsa ini sejak dulu diwarnai perang atau pertikaian lalu berdamai dan hal seperti itu terus berulang. Ada suasana damai pada dekade 1970-an dan 1980-an kemudian memanas lagi pada dekade 1990-an dan 2000-an.
Pasang surut hubungan tetap terjadi walau kedua negara sudah 40 tahun meneken Traktat Perdamaian dan Persahabatan. Kini hubungan kembali mesra ditandai kunjungan Menteri Luar Negeri (Menlu) China Wang Yi ke Jepang pada April 2018 untuk dialog ekonomi dan bertemu mitranya Menlu Jepang Taro Kono.
Ini dilanjutkan dengan kunjungan PM China Li Keqiang ke Jepang pada hari Selasa (8/5/2018) seiring dengan pertemuan trilateral China-Jepang-Korea Selatan. Kunjungan ini akan dilanjutkan dengan sambutan Presiden Xi Jinping atas rencana kedatangan PM Shinzo Abe di China yang sedang dijadwalkan. PM Abe sendiri menyambut hangat perkembangan baik dalam relasi dua negara ini.
Arah diplomasi berubah
Agaknya kolaborasi dua adidaya ekonomi Asia ini merupakan panggilan waktu. Modal pengetahuan dan teknologi yang dulu didominasi Barat kini telah dimiliki dan dikuasai Asia lewat Jepang dan China.
Secara pasar, Asia adalah lokasi permintaan agregat yang dahsyat. Pasar Asia adalah masa depan yang menawarkan kemakmuran dan tentu keuntungan besar.
Hanya saja bedanya jika Asia selama ini lebih sebagai "jongos"-nya Barat, kini Asia bisa menjadi penentu dan pengarah di kawasannya.
Saat bersamaan Eropa dan AS adalah pasar yang telah jenuh. Asia adalah lahan besar ekonomi. Pelemahan ekonomi Eropa salah satunya akibat penuaan penduduknya, demikian juga AS. Itu semua membuka dengan sendirinya potensi kolaborasi Asia, dimotori China dan Jepang.
Walau demikian, melakukan kerja sama di antara adidaya ekonomi Asia ini tidak perlu dengan membuang AS dan Eropa. Hanya saja bedanya jika Asia selama ini lebih sebagai "jongos"-nya Barat, kini Asia bisa menjadi penentu dan pengarah di kawasannya. Inilah momentum yang dalam jalurnya untuk dikuasai Asia.
Harian Jepang, The Japan Times, pada 9 Mei 2018, memuat tulisan Noriyuki Kawamura, profesor hubungan Sino-Jepang di Nagoya University of Foreign Studies: “Presiden Xi Jinping awalnya bersemangat untuk dekat dengan Presiden AS Donald Trump. Akan tetapi ancaman tarif oleh AS terhadap impor China mengagetkan Presiden Xi. Ini membuat Presiden Xi memutuskan untuk bertarung total soal perdagangan dan di sisi lain harus memperbaiki hubungan dengan Jepang.”
PM Abe sendiri pasti tertarik karena AS telah menjadi mitra yang sulit, setidaknya secara ekonomi. Keputusan Trump meninggalkan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), yang bertujuan mengimbangi kejayaan China, membuat PM Abe tidak memiliki pilihan selain semakin dekat dengan China.
Ada efek positif besar dari kolaborasi China-Jepang di Asia. PM Li Keqiang bersama Abe menyatakan dua negara bersama Korea Selatan akan mampu mewujudkan misi bersama, “Pengurangan kemiskinan, pengelolaan bencana, penciptaan energi hemat juga mendorong perdamaian, stabilitas.” Hal itu dikatakan Keqiang di Tokyo, Rabu (9/5/2018).
Untungkan Asia
Kolaborasi ini memiliki sisi terbaik pada Asia secara keseluruhan. Tidak baik bagi Asia terlalu cenderung atau masuk perangkap China, dimana dunia sedang menduga-duga siapa dan bagaimana sebenarnya China kelak jika negara tirai bambu ini membesar.
Di sisi lain Jepang juga tidak kuat jika sendirian saja mengatasi dominasi Asia. Oleh sebab itu kolaborasi adalah jalan terbaik.
Kolaborasi Jepang-AS di Asia juga riskan bagi Asia di tengah China yang makin besar. Kolaborasi China-Jepang adalah yang paling pas dengan menenggelamkan secara halus kekuatan Barat, yang pernah masuk lewat kapitalisme liberal dengan napas imperialismenya.
Kolaborasi ini, walau masih dalam tahap awal dan tetap terbilang rawan retak lagi, merupakan awal yang baik.
Bagi Asia, kolaborasi China-Jepang akan menghilangkan kegugupan. Asia tidak perlu memilih China atau Jepang. Ini lebih aman bagi Asia secara geopolitik, sebab ada dua warna politik dan ideologi yang mampu berkolaborasi.
Sama seperti Jepang, Asia memiliki kekhawatiran tentang militerisasi China dan arah politiknya yang tidak berubah, tetap komunis dengan tendensi yang makin menguat. “Jepang terus memegang opini bahwa China memiliki rencana ekspansi untuk muncul sebagai penata tatanan regional,” kata Rana Mitter, profesor Universitas Oxford Inggris dan Direktur China Center Universitas Oxford.
Kolaborasi ini, walau masih dalam tahap awal dan tetap terbilang rawan retak lagi, merupakan awal yang baik. Celah untuk ini ada dan besar. Jepang dan China saling tertarik mendekatkan diri di tengah kemelut sejarah dan warisannya yang kadang menggelisahkan.
Momentum Asia memang sudah diprediksi sejak lama akan terjadi. Akan tetapi hal baiknya lagi jika momentum ini ditata lewat kerja sama dua negara adidaya yang juga disukai negara-negara Asia di luarnya. Kolaborasi ini bukan lagi soal denuklirisasi Semenanjung Korea semata tetapi demi kemakmuran Asia yang beraneka ragam budaya.
Akhirnya Brown mengingatkan jika kolaborasi tidak terjadi, ada potensi konflik paling berbahaya di dunia dari sisi Asia, yakni konflik China dan Jepang.
Brown mengatakan kedua negara tidak terlibat konflik besar sejak 1945 dan itu karena keduanya saling bisa menjaga diri. Akan tetapi ini tidak menjadi jaminan bahwa Asia akan terus tenang. Oleh sebab itulah penguatan kerja sama China-Jepang secara perlahan adalah cara terbaik. (AP/AFP/REUTERS)