BRUSSELS, KAMIS -- Uni Eropa mempertimbangkan untuk menerapkan "statuta pemblokiran" yang pada tahun 1996 berhasil membuat UE tetap bisa melakukan perdagangan dengan Kuba, meskipun saat itu Amerika Serikat menerapkan sanksi pada Kuba.
Langkah ini akan diputuskan pada pertemuan di Brussels, Belgia, pekan depan, sebagai respons terhadap keputusan AS menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran, Selasa (8/5/2018). Setelah keluar dari kesepakatan nuklir itu, AS akan segera menerapkan lagi sanksi ekonomi pada Iran.
Meskipun Jerman, Perancis, Inggris—juga Rusia dan China—dapat menahan Iran untuk tetap dalam kesepakatan dan berjanji akan menjaga kerja sama perdagangan dengan Iran, sanksi ekonomi AS pada Iran berdampak luas.
Perusahaan-perusahaan internasional Eropa yang memiliki investasi di AS tidak akan berani melanjutkan investasi di Iran karena khawatir terdampak sanksi AS. Itu sebabnya, Teheran menyatakan, Eropa "tak akan berdaya" untuk mempertahankan kesepakatan nuklir tahun 2015.
"Eropa tidak bisa bertindak independen dalam kesepakatan nuklir. Musuh-musuh Iran tidak mencari konfrontasi militer, namun mereka mencoba menekan negara kami dengan isolasi ekonomi. Perlawanan menjadi satu-satunya cara untuk menghadapi ini," kata Brigadir Jenderal Hossein Salami dari Garda Revolusi Iran.
Statuta pemblokiran
Statuta pemblokiran merupakan alat paling kuat yang bisa digunakan UE karena statuta ini melarang setiap perusahaan UE untuk tunduk pada sanksi AS, juga tidak mengakui pengadilan AS yang menerapkan penalti bagi perusahaan-perusahaan Eropa.
Namun, statuta tersebut tidak pernah digunakan dan selama ini lebih merupakan senjata politik UE untuk menghadapi AS. "Alat ini berhasil dalam kepemimpinan Bill Clinton karena dibarengi dengan strategi politik," ujar seorang pejabat UE.
Akibat langkah AS, perusahaan-perusahaan AS maupun Eropa akan kehilangan kesepakatan miliaran dollar AS, di antaranya adalah Boeing yang akan kehilangan 20 miliar dollar AS untuk pesanan 100 pesawat jet yang dipesan perusahaan penerbangan, Iran Air pada Desember 2016. (AP/AFP/REUTERS)