Di Indonesia, saat remaja bolos sekolah atau tengah berkonflik dengan orangtua, mereka mungkin ditemukan menghabiskan waktu di bilik-bilik warung internet. Para remaja ini membenamkan diri dalam gim daring. Sebagian di antaranya bahkan sampai mengalami kecanduan.
Di Singapura, situasinya tak banyak berbeda. Di antara 2.000 remaja berusia 13-15 tahun, 10 persen biasanya kecanduan gim daring.
Di Indonesia, umumnya orangtua akan meminta bantuan guru atau konselor. Di Singapura, orangtua bisa meminta bantuan TOUCH Cyber Wellness (TCW), lembaga independen yang menjadi perintis di bidang edukasi kesehatan siber dan program konseling.
Lembaga itu berdiri pada 11 September 2001. Sejak itu, TCW telah menjangkau 360 sekolah, menangani 1,6 juta remaja, orangtua, pendidik, dan konselor. Lembaga ini didukung Kementerian Sosial dan Pembangunan Keluarga Singapura, Otoritas Pembangunan Media, serta Dewan Literasi Media Singapura.
TCW bekerja untuk mempromosikan kesehatan siber, permainan yang sehat, dan keamanan online. ”Tidak mudah melepaskan diri dari kecanduan gim daring, tetapi kami bisa membantu remaja untuk bebas dari kecanduan tersebut,” ujar Yao Weixing Shem, Asisten Manajer TCW.
Permainan sehat
Di Planet CRUSH (Cyberspace Risks and where U Seek Help), pusat kesehatan siber di area Kallang, Singapura, TCW menyediakan lingkungan permainan sehat, menggelar berbagai lokakarya, dan akses konselor.
Melalui program edukasi TCW dan model intervensi yang diteliti secara valid, TCW bekerja bersama para remaja, orangtua, dan pendidik untuk menumbuhkan rasa hormat, menyeimbangkan gaya hidup, dan bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi digital. Dengan demikian, tercipta efek positif serta terbentuk budaya siber yang sehat di rumah, sekolah, dan komunitas.
Atas apa yang dilakukan TCW, yakni menyelamatkan banyak remaja dari belenggu gim daring, pada Juli 2011, lembaga itu menerima Singapore Youth Award. Penghargaan ini merupakan yang tertinggi untuk kategori Komunitas dan Tim Layanan Remaja.
Memahami remaja
Bagi orangtua, penting kiranya memahami anak-anak mereka yang berada di usia remaja, yang tengah mengalami krisis identitas. Dalam proses pencarian jati diri, jika tidak didukung orangtua, mereka bisa lari ke gim daring, narkoba, atau menjadi pelaku perundungan.
Remaja kini hidup di era teknologi informasi yang sangat mudah diakses. Menurut data yang disampaikan TCW, ada 4,4 juta pengguna Facebook di Singapura. Sebanyak 2 persen adalah pengguna berusia 13-17 tahun, 19 persen berusia 18-24 tahun, 34 persen berusia 25-34 tahun, 21 persen berusia 35-44 tahun, dan 24 persen berusia 45 tahun.
Orangtua juga perlu memahami bahasa pergaulan remaja di dunia siber, misalnya tentang arti tagar yang mereka tuliskan di status media sosial. Hal ini penting agar orangtua paham apa yang sedang terjadi dan dialami anak-anak mereka.
Kasus perundungan juga menjadi hal yang memprihatinkan di Singapura. Masalah ini perlu menjadi kepedulian orangtua karena korban dan pelaku perundungan dapat tumbuh menjadi manusia dewasa dengan karakter kurang baik.
Terkait hal itu, TCW dan Dewan Literasi Media Singapura menyebarkan brosur ke sekolah-sekolah. Brosur berisi poin-poin bagaimana mengatasi perundungan. Hal itu ditempuh dengan tetap bersikap tenang saat diserang, merekam bukti-bukti, mengeblok para perundung di akun media sosial, melaporkan perundung, serta meminta nasihat dan dukungan orangtua, guru, teman, serta konselor di sekolah. Dengan demikian, mereka mendapatkan saran dan bisa melakukan langkah hukum jika diperlukan.
Brosur-brosur itu terus disebarkan untuk membentengi anak-anak dan remaja dari pengaruh buruk di sekitar mereka.