BAGHDAD, MINGGU Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi diunggulkan dalam penghitungan suara tidak resmi hasil pemilu Irak 2018. Jika menang, Abadi berpeluang kembali menjadi PM.
Pemungutan suara dihelat pada Sabtu (12/5/2018). Hingga Minggu siang, sudah 92 persen surat suara dihitung dan
sementara ini koalisi Nasr pimpinan Abadi unggul. Hasil
resmi pemilu Irak diharapkan diumumkan pada Senin (14/5/2018).
Pemilu 2018 merupakan pemilu pertama sejak Irak mengumumkan kemenangan atas Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) itu. Sebanyak 6.990 politisi memperebutkan 329 kursi DPR. Dari keseluruhan kursi, 83 dialokasikan untuk perempuan dan 9 untuk wakil minoritas.
Dalam pemilu ini, ada dua pesaing utama Abadi, yaitu mantan PM Irak Nouri al-Maliki yang memimpin koalisi Dawlat al-Qanoon dan Hadi al-Amiri lewat koalisi Fatah. Hadi merupakan pimpinan kelompok perlawanan sejak masa Saddam Hussein. Akan tetapi, ia dituding terlalu dekat dengan Iran. Berbeda dengan Abadi yang bisa menyeimbangkan kedekatannya dengan Amerika Serikat dan Iran.
Abadi perlu memenangi pemilu agar koalisinya bisa mendapat kursi mayoritas di parlemen Irak. Dengan demikian, ia bisa kembali dipilih parlemen menjadi PM. Akan tetapi, pekerjaan Abadi belum selesai jika nanti kembali terpilih sebagai PM. Sebab, ia masih harus bernegosiasi membentuk pemerintahan.
Tantangan lain Abadi adalah legitimasi. Sebab, hanya 44,5 persen pemilih memberi suara. Partisipasi tetap rendah meski kekerasan oleh militan berkurang. ”Kebijakan selama 15 tahun terakhir tidak bisa meyakinkan pemilih,” kata Ami al-Saadi, pengajar ilmu politik di Universitas Baghdad.
Sebagian pemilih juga menuding pemilu tidak adil. ”Warga Irak merasa permainan sudah berakhir, hasilnya sudah disiapkan,” kata Karim Bitar dari Institut Kajian Internasional dan Strategis di Perancis. (REUTERS/AFP/RAZ)