BAGHDAD, SENIN Kubu ulama nasionalis yang sejak lama berseberangan dengan Amerika Serikat, Moqtada al-Sadr, memimpin perolehan suara pemilihan umum parlemen Irak. Dengan sudah lebih dari separuh total suara dihitung pada Senin (14/5/2018), hasil itu dinilai cukup mengejutkan.
Setelah diketahui bahwa aliansi yang dipimpin Sadr unggul di Baghdad, para pendukungnya meluapkan kegembiraan di jalan-jalan raya, Senin pagi. Mereka mengusung foto Sadr.
Pemilu Irak digelar untuk pertama kalinya sejak kekalahan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Menyusul di belakang Sadr adalah pemimpin milisi Hadi al-Amiri. Perdana Menteri Haider al-Abadi yang sebelumnya digadang-gadang bakal memenangi pemilu justru memiliki perolehan suara di peringkat ketiga.
Perolehan suara Sadr dan Amiri masing-masing unggul di empat provinsi. Namun, Sadr unggul signifikan di Baghdad. Jumlah suara di ibu kota Irak itu adalah yang tertinggi.
Suara yang sudah selesai dihitung hingga awal pekan ini meliputi 95 persen dari 10 provinsi. Total ada 18 provinsi yang menggelar pemilu di Irak.
Pimpin perlawanan
Tidak seperti Abadi yang cukup dekat dengan AS ataupun Iran, Sadr memiliki posisi berseberangan dengan keduanya. Khusus terhadap AS, Sadr berseberangan dengan Washington sejak invasi yang dipimpin AS menggusur Saddam Hussein.
Sadr dua kali memimpin perlawanan terhadap pasukan AS. Ia pun secara bersamaan mengambil jarak dengan Iran. Sadr cukup populer di antara kaum muda serta masyarakat miskin dan terpinggirkan Irak. Mengingat pilihan politiknya itu, Sadr dikesampingkan tokoh-tokoh berpengaruh dalam politik Irak.
Meski memimpin perolehan suara pemilu parlemen, Sadr tak dapat menjadi perdana menteri karena tidak mencalonkan dirinya sebagai anggota legislatif. Jika kubunya menang dalam pemilu parlemen, Sadr diperkirakan bakal menentukan figur atau sosok yang bakal duduk sebagai PM Irak selanjutnya menggantikan Abadi.
Ada kemungkinan Sadr dan kelompoknya tak dapat langsung menyusun pemerintahan baru. Penyebabnya, siapa pun yang memenangi pemilu di parlemen tampaknya harus bernegosiasi mewujudkan pemerintahan koalisi. Pemerintahan Irak seharusnya dapat terbentuk dalam kurun waktu 90 hari setelah hasil final pemilu parlemen keluar.
Irak bebas dari NIIS pada akhir tahun lalu setelah kota Mosul dikuasai kembali oleh pasukan pemerintah. Sebelum itu, kelompok NIIS menguasai sepertiga wilayah Irak sejak tahun 2014.
Hasil final pemilu parlemen akan diumumkan secara resmi paling tidak satu minggu lagi. Sementara ini, tingkat partisipasi pemilih tercatat hanya 44,52 persen dari 92 persen suara yang telah dihitung. Dengan angka tersebut, tingkat partisipasi pemilih saat ini jauh lebih rendah ketimbang pemilu sebelumnya.