KAIRO, KOMPAS - Perayaan di kota Jerusalem menyambut pembukaan kantor Kedubes Amerika Serikat, Senin lalu, segera beralih menjadi ketegangan diplomasi Israel dengan masyarakat internasional. Posisi Israel, Rabu (16/5/2018), makin terjepit menghadapi kian kuatnya protes masyarakat internasional atas jatuhnya korban warga Palestina dalam jumlah sangat besar.
Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan, sebanyak 62 warga Palestina tewas dan 3.188 luka-luka dalam bentrokan berdarah pada Senin dan Selasa lalu. Kota Jerusalem juga dihinggapi suasana tegang menjelang hari Jumat pertama besok pada bulan Ramadhan ini. Rakyat Palestina memiliki tradisi berbondong-bondong dari semua penjuru untuk menunaikan shalat Jumat pertama pada bulan Ramadhan di Masjid Al Aqsa.
Otoritas Israel menginstruksikan 20.000 personel pasukan dan aparat keamanan yang disebar di jalanan kota Jerusalem untuk menjaga keamanan pembukaan kantor Kedubes AS di Jerusalem pada hari Senin lalu. Mereka diminta tetap bertahan di kota itu menjelang Jumat pertama pada bulan Ramadhan ini.
Warga Palestina di wilayah Israel hari Rabu kemarin menggelar mogok umum sebagai rasa solidaritas dengan warga Palestina di Jalur Gaza.
Dalam konteks pertarungan diplomasi, kaukus Arab di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Selasa lalu berhasil membujuk masyarakat internasional menggelar sidang darurat Dewan Keamanan PBB khusus membahas pembantaian di Jalur Gaza itu.
Protes
Kuwait yang mewakili kaukus Arab di DK PBB berhasil pula menyatukan semua anggota DK PBB itu, kecuali AS, untuk bersatu menuntut dibentuk komite penyidik independen guna melakukan penyelidikan terhadap aksi pembantaian di Jalur Gaza. Kuwait pada Rabu kemarin berkeras mengajukan draf resolusi DK PBB mengecam kekerasan Israel terhadap pengunjuk rasa Palestina dan perlindungan bagi warga sipil Palestina.
Protes atas pembantaian di Jalur Gaza itu kini merambah pula ke dalam negeri Israel. Anggota Knesset (parlemen) dari warga Arab, Zouher Bahloul, menyerukan dibentuk komite khusus Knesset untuk menyelidiki peristiwa penembakan membabi buta pasukan Israel terhadap pengunjuk rasa Palestina.
Menlu Palestina Riyadh Malki, kepada radio Palestina, mengatakan, Presiden Palestina Mahmoud Abbas telah menandatangani nota perintah agar Palestina bergabung dengan tiga dari 22 organisasi internasional.
Namun, Malki tidak menjelaskan identitas tiga organisasi internasional itu. Malki menegaskan, Palestina terus membekukan komunikasi politik dengan AS, sebagai protes atas keberpihakan AS secara membabi buta terhadap Israel.
Ia juga mengungkapkan, Palestina memanggil pulang dubesnya untuk AS, sebagai aksi protes. Kementerian Luar Negeri Palestina mengumumkan, telah memanggil dubesnya dari empat negara Eropa, yaitu Austria, Romania, Hongaria, dan Ceko, sebagai protes kehadiran dubes empat negara Eropa tersebut pada acara pembukaan kantor Kedubes AS di Jerusalem.
Wakil ketua faksi Fatah, Mahmoud Al-Aloul, kepada harian Al Hayat mengungkapkan, Presiden Mahmoud Abbas telah menandatangani nota untuk mengajukan isu permukiman Yahudi ke Mahkamah Kriminal Internasional.
Di kancah internasional, Turki Rabu kemarin meminta konsul Israel di kota Istanbul segera meninggalkan kota itu. Turki, Senin lalu, memanggil pulang dubesnya dari Tel Aviv.
Turki akan menggelar pula pertemuan puncak Konferensi Kerja Sama Islam (OKI) di Istanbul, Jumat besok. Selain Turki, Liga Arab akan menggelar sidang darurat tingkat menlu di Kairo Kamis ini untuk menyikapi kekerasan Israel di Jalur Gaza dan pembukaan kantor Kedubes AS di Jerusalem.
Sebaliknya Israel, seperti dikutip harian Haaretz, mengklaim, aksi unjuk rasa di Jalur Gaza pada hari Rabu jauh menurun setelah Hamas mendapat tekanan dari Mesir agar menurunkan ketegangan di Jalur Gaza.
Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh dijadwalkan akan mengunjungi Kairo pada hari Minggu untuk membahas perkembangan terakhir di Jalur Gaza. Menurut Haaretz, Mesir telah menyampaikan kepada Haniyeh bahwa Mesir telah menerima pesan dari Israel yang isinya, Israel akan membunuh para pemimpin Hamas, termasuk Ismail Haniyeh, jika Hamas terus melakukan eskalasi dengan Israel.
Hamas diberitakan telah menyampaikan kepada Israel bahwa unjuk rasa bukan untuk melawan Israel, melainkan untuk menekan Israel agar memberi kemudahan ekonomi dan kebebasan bergerak bagi rakyat Palestina yang terkepung di Jalur Gaza.