TOKYO, RABU - Parlemen Jepang, Rabu (16/5/2018), mengesahkan undang-undang yang mendorong perempuan untuk mencalonkan diri dalam pemilu. Dalam UU baru ini, partai politik di Jepang didorong pula untuk lebih seimbang dalam menentukan jumlah kandidat laki-laki dan perempuan. Jumlah kandidat laki-laki dan perempuan harus diusahakan sama atau setidaknya mendekati jumlah yang sama.
Meski mendorong partai politik untuk menetapkan target kesetaraan jender, UU itu tidak menyebutkan hukuman atau sanksi bagi partai yang gagal melaksanakan amanat UU. Legislasi ini juga tidak menyebutkan insentif atau pendorong agar kesetaraan jender terwujud.
Tertinggal
Sampai sekarang hanya terdapat 47 perempuan anggota parlemen dari total 465 kursi majelis rendah di Jepang. Menurut Inter-Parliamentary Union, dibandingkan dengan Myanmar dan Gambia, Jepang tertinggal dalam aspek keterwakilan perempuan.
”Saya berharap UU ini dapat membawa perubahan besar pada perpolitikan Jepang. Saya harap perempuan-perempuan yang semula ragu untuk mencalonkan diri menjadi kandidat, sekarang bisa berani dan ikut mencalonkan diri dalam pemilu,” ujar Menteri Dalam Negeri Jepang Seiko Noda, salah satu anggota tim perumus UU.
Rancangan UU diusulkan oleh kelompok anggota parlemen lintas partai. Namun, selama ini, usulan mereka ditentang sejumlah anggota parlemen dan partai. Proses penyusunan juga menjadi kontroversi, padahal UU tersebut tidak menyebutkan ketentuan hukuman atau sanksi apa pun bagi partai.
Jepang akan mengadakan pemilu regional, April 2019, diikuti pemilu parlemen untuk majelis tinggi, Juli 2019. Efektivitas UU akan terbukti tahun depan dan komitmen Jepang pada kesetaraan jender juga akan diuji. Di antara negara-negara G-7, Jepang disebutkan dalam ”Laporan Kesenjangan Jender Global” dari Forum Ekonomi Dunia berada di peringkat bawah.
Media Bloomberg, 3 April, mengutip Inter-Parliamentary Union yang menunjukkan perwakilan perempuan di politik, menulis bahwa Jepang berada di peringkat ke-158 dari 193 negara.
Sebelum pengesahan UU baru ini, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe sudah berusaha meningkatkan partisipasi perempuan di tempat kerja dengan menjadikan hal itu sebagai fokus kebijakan ekonominya. Hal ini dilakukannya karena Jepang mengalami kekurangan tenaga kerja produktif.
Pada 2013, Abe berjanji ada 30 persen perempuan yang duduk di posisi pengawas di berbagai bidang hingga akhir dekade sekarang. Jumlah perempuan yang menjadi manajer di sektor swasta hanya 10 persen pada 2016.