Saya ingin melihat kedamaian, harapan, dan kemakmuran tersebar di Gaza saat saya keluar dari rumah sakit,” kata Marwan Shtewi, pria Palestina, dari tempat tidurnya di rumah sakit tempat ia dirawat akibat luka tembakan tentara Israel.
Shtewi, pemuda pengangguran berusia 32 tahun, hidup miskin. Hingga usia 32 tahun, ia belum pernah sekali pun meninggalkan Jalur Gaza, tempat tinggalnya selama ini. Ia adalah salah satu dari orang- orang muda Palestina di garis depan unjuk rasa di sepanjang perbatasan dengan Israel.
Sejak awal April, para pejuang Palestina di Gaza menggelar unjuk rasa ”Perjalanan Akbar untuk Kembali”. Aksi ini digelar untuk memperjuangkan nasib lebih dari 700.000 pengungsi Palestina yang terusir dari tanah kelahiran mereka pada 1948 saat negara Israel berdiri.
Yahya al-Sinwar, salah satu pimpinan gerakan Hamas, menegaskan, aksi tersebut untuk menekankan kembali hak pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah air mereka, untuk menolak pemindahan Kedutaan Besar AS ke Jerusalem, dan penghentian secepatnya blokade Gaza.
Unjuk rasa yang digerakkan Hamas berlangsung selama enam minggu. Warga Gaza berupaya menerobos pagar perbatasan dengan Israel dengan harapan bisa kembali ke rumah-rumah leluhur mereka di wilayah yang kini diduduki Israel. Dua pertiga dari 2 juta warga Gaza adalah keturunan pengungsi yang menyelamatkan diri atau diusir dari tempat tinggal mereka pada 1948.
Saat ini, setelah unjuk rasa mereda, Shtewi tengah memulihkan luka tembak di lengannya dan luka akibat pecahan peluru di perutnya. Baginya, unjuk rasa telah berlalu. Kini, dia bermimpi agar bisa mendapatkan pekerjaan.
Namun, mengenang aksi dirinya, Shtewi mengatakan, dirinya ”kadang-kadang” melempar batu atau membakar ban. Ia mengaku, sebagian besar waktunya selama ikut berunjuk rasa digunakannya hanya dengan berdiri untuk menghabiskan waktu. ”Protes adalah cara baru untuk memecahkan kebosanan,” katanya.
Hidup menderita
Selain terdorong oleh harapan untuk merebut kembali tanah yang diduduki Israel, sebagian pengunjuk rasa mengatakan, aksi unjuk rasa mereka juga didorong oleh penderitaan hidup akibat satu dekade blokade Israel dan Mesir. Blokade itu berlangsung sejak Hamas menguasai Gaza dari Otoritas Palestina tahun 2007.
Akibat blokade itu, sebagian besar perbatasan Gaza ditutup, menyebabkan terbatasnya pergerakan orang serta barang masuk dan keluar dari wilayah itu. Otoritas Palestina yang berkantor di Tepi Barat menambah tekanan dengan memotong gaji para mantan pegawainya dan membatasi saluran listrik ke Gaza.
Warga Gaza hanya mendapat pasokan listrik beberapa jam setiap hari. Mereka tak bisa memperkirakan kapan listrik akan menyala.
Air keran tidak dapat diminum, pantai Laut Tengah selalu mengeluarkan bau tak sedap karena banyaknya limbah yang dibuang setiap harinya.
Angka pengangguran di Gaza mencapai lebih dari 40 persen. Di kalangan orang muda, seperti Shtewi, jumlah pengangguran lebih tinggi, yakni hampir dua pertiga dari total pengangguran.
Kondisi hidup yang kian sulit itu seolah menjadi ”bahan bakar” tambahan yang menggerakkan para pemuda di Gaza untuk berhadap-hadapan dengan para penembak jitu Israel di perbatasan. Puluhan ribu warga Gaza bergabung dalam unjuk rasa tiap pekan.
Sebagian besar menjaga jarak aman dari pagar perbatasan. Namun, sejumlah kelompok kecil pria muda kadang-kadang maju ke garis depan untuk memotong kawat pagar atau melemparkan ban yang terbakar, bom, dan batu ke arah pasukan Israel.
Mereka menghadapi tentara Israel yang melepaskan tembakan hingga menewaskan lebih dari 110 warga Palestina dan melukai ratusan warga lainnya sejak protes dimulai pada 30 Maret. Dalam sepekan terakhir hingga Rabu (16/5/2018), 62 orang Palestina tewas dalam kekerasan itu.
Ini insiden paling besar sejak perang Gaza tahun 2014. Jumlah korban tewas yang sangat banyak tersebut membuat dunia internasional mengecam Israel. Israel dituduh telah menggunakan kekuatan yang tidak proporsional. (AP/LOK)