Pemindahan Kedutaan Besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem, mulai 14 Mei lalu oleh para pendukung Presiden AS Donald Trump dan Israel, disebut sebagai peristiwa bersejarah yang sudah ditunggu sejak 70 tahun silam. Ini diyakini Trump sebagai langkah awal untuk mewujudkan perdamaian di Palestina. Bahkan, Hagit Yaso, perempuan penyanyi berdarah Yahudi Etiopia yang tampil dalam acara tersebut menyanyikan lagu ”Od Yavo Shalom Aleinu”, damai beserta kita.
Bagi Israel, pemindahan Kedutaan AS itu memang menjadi perayaan sesungguhnya dari ”Yom Yerushalayim” atau Hari Jerusalem. Yakni, hari kembalinya orang-orang Yahudi ke situs suci di Kota Suci pada 1967, yakni setelah perang. Sebaliknya, bagi orang Palestina, seperti dikatakan Saeb Erakat, seorang pejabat senior Palestina, pemindahan itu sebagai ”tindakan bermusuhan begitu keji melawan hukum internasional,” dan Trump mendorong ”anarki internasional” serta ”meneguhkan pendudukan Israel dan kolonialisme”.
Keputusan pemindahan itu adalah sebuah tindakan unilateral dan tidak sah dalam perspektif hukum internasional. Trump juga seperti memberikan hadiah pada Israel karena pemindahan kedutaannya itu tanpa ada konsesi ataupun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Israel. Tentu, ini menerjang netralitas tradisional yang selama ini diperankan AS berkaitan dengan masalah status Jerusalem. Para presiden AS pendahulu Trump—Bill Clinton, George W Bush, dan Barack Obama—menahan diri untuk tidak melakukan tindakan seperti yang sekarang dilakukan Trump. Mereka mempertimbangkan bahwa langkah seperti itu dapat merusak peran AS dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina; dan kemungkinan dapat memicu kekerasan, tidak hanya di Timur Tengah tetapi juga terhadap AS.
Masuk akal, karena itu, jika sebagian besar negara sekutu AS di Eropa, termasuk Inggris dan Perancis, dan juga Timur Tengah—Mesir dan Arab Saudi—tidak menghadiri peresmian itu. Mereka tetap mendukung resolusi PBB berkait dengan status hukum Jerusalem yang belum final hingga saat ini.
Akan tetapi, Trump mengatakan, pemerintahnya ”tidak mengambil sikap terhadap isu status final apa pun, termasuk perbatasan khusus dari kedaulatan Israel di Jerusalem”. Meskipun mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Terlepas dari pernyataan Trump, menarik untuk dicatat, mengapa dua negara kunci di Timur Tengah—Arab Saudi dan Mesir—tidak banyak reaksi terhadap pemindahan kedutaan itu. Arab Saudi yang menghadapi persaingan dan langkah-langkah Iran di Suriah dan Yaman harus mendukung kebijakan pemerintahan Trump untuk mendapat dukungan Washington menghadapi Teheran.
Sementara pemerintah Jenderal Abdel Fatah el-Sisi di Mesir yang menghadapi masalah politik dan ekonomi membutuhkan dukungan luar. Saat kudeta tahun 2013, Sisi mendapat dukungan keuangan dari negara-negara Teluk dan dukungan politik dari Washington. Oleh karena itu, Kairo tidak dapat menentang langkah yang dilakukan Washington dan Riyadh.
Itulah sebabnya, Palestina
merasa ditinggalkan Arab. Padahal, bagi bangsa Palestina, keputusan Trump itu tetap dirasa sungguh menyakitkan. Apalagi pemindahan itu dilakukan sehari menjelang peringatan 70 tahun Nakba, malapetaka, pembersihan etnis Palestina dan penghancuran total masyarakat Palestina pada 1948.
Oleh karena itu, sungguh masuk akal jika pecah demonstrasi besar-besaran, yang menurut berita diikuti 400.000 orang, di sepanjang perbatasan antara Gaza dan Israel pada hari peringatan Nakba, sebagai ungkapan perlawanan terhadap Israel dan keputusan Trump itu. Sebab, pemindahan kedutaan itu laksana palu godam yang menghajar jembatan perdamaian dan akan menghentikan proses perundingan perdamaian serta mengacaukan solusi dua negara.
Masa kegelapan
Sejarah banyak bercerita tentang usaha menyelesaikan masalah Jerusalem. Hal itu menegaskan bahwa tidak mudah menyelesaikan masalah Jerusalem. Bisa dikatakan, masalah Jerusalem tidak kunjung selesai sejak internasionalisasi Jerusalem setelah Majelis Umum PBB pada tahun 1948 dengan menerbitkan Resolusi 181, yakni tentang Rencana Pembagian Palestina (UN Partition Plan for Palestine). Menurut Resolusi 181, Jerusalem dinyatakan sebagai corpus separatum (entitas terpisah). Artinya, tidak menjadi bagian Arab ataupun Israel, meskipun Palestina dibagi menjadi dua: bagian Arab dan bagian Israel.
Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Pada 30 Juli 1980, Knesset (Parlemen) Israel secara sepihak mengesahkan undang-undang yang menyatakan bahwa Jerusalem ibu kota Israel (Haaretz, 15 Mei 2018). Israel menyatukan Jerusalem Barat dan Timur (yang direbut dalam Perang 1967) di bawah kekuasaannya. Tentu, tindakan itu pelanggaran hukum internasional.
Memang, secara demografis dan geografis, Jerusalem sudah terbagi. Ada wilayah yang dihuni orang Yahudi; ada wilayah yang dihuni orang Palestina. Selain itu, ada pula wilayah Yahudi, Kristen, dan Islam dengan tempat-tempat sucinya. Yang perlu dicatat, tempat-tempat penting dan suci ketiga agama itu letaknya berdekatan satu sama lain. Akan tetapi, peta demografi tersebut tidak mudah diubah menjadi peta politik (Alan Dershowitz: 2005).
Dengan kata lain, tidak akan pernah ada resolusi mengenai konflik Israel-Palestina atau Israel-Arab yang dapat berjalan dan memberikan hasil tanpa solusi konsensual dan masuk akal mengenai masalah Jerusalem (Amnon Ramon, ed: 2010).
Hal itu berarti, berakhir tidaknya konflik di kawasan itu akan sangat bergantung pada penyelesaian masalah Jerusalem. Ini menegaskan betapa sentralnya isu Jerusalem dalam penyelesaian konflik Arab-Israel atau Palestina-Israel.
Karena itu, langkah AS memindahkan kedutaannya, ke depan akan semakin mempersulit proses perdamaian, dan bukannya membawa fajar baru bagi proses perdamaian, tetapi sebaliknya membawa proses perdamaian ke waktu senja. Yang berarti juga akan semakin mengaburkan solusi dua negara.