Tindakan kelompok milisi Negara Islam di Irak dan Suriah menghancurkan Masjid Agung An-Nouri di kota Mosul, Irak utara, Juni 2017—sebelum pasukan Irak memasuki kota itu—menandakan berakhirnya negara khilafah yang dideklarasikan pemimpinnya, Abu Bakar al-Baghdadi, pada Juni 2014 di masjid tersebut.
Jatuhnya kota Mosul ke tangan pasukan Pemerintah Irak segera disusul jatuhnya kota Raqqa di Suriah ke tangan milisi Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang terdiri dari gabungan milisi Kurdi dan Arab. Jatuhnya kota Mosul, yang diklaim sebagai ibu kota Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Irak, dan kota Raqqa yang diklaim sebagai ibu kota NIIS di Suriah berlanjut dengan jatuhnya wilayah kontrol NIIS yang cukup luas di Irak dan Suriah.
Pada 2014 dan 2015, NIIS di Suriah menguasai sekitar 50 persen wilayah negeri itu. Kini, kelompok ekstrem itu hanya menguasai kurang dari 10 persen wilayah Suriah. Demikian juga di Irak, NIIS yang pernah menguasai 40 persen wilayah pada 2014, kini hanya mengontrol sekitar 5 persen wilayah.
Konsentrasi NIIS di Irak kini berada di wilayah gurun di Provinsi Al-Anbar bagian barat yang berbatasan dengan Jordania dan Suriah. Adapun konsentrasi NIIS di Suriah saat ini berada di wilayah gurun Badia di Suriah tenggara yang berbatasan dengan Jordania dan Irak.
Karena itu, bisa dikatakan, NIIS di Irak dan Suriah kini sudah kehilangan segalanya. NIIS di Irak dan Suriah sudah tidak lagi memiliki sandaran pendukung dari kalangan penduduk lantaran mereka tak mengontrol lagi kota-kota dan desa-desa.
NIIS pun kini sudah tidak memiliki sumber pendapatan untuk menyokong biaya operasi militer dan membayar para anggota milisinya. Mereka sudah kehilangan sumber-sumber minyak yang pernah mereka kontrol ketika menguasai kota Raqqa, sebagian besar Provinsi Deir El Zor di Suriah, dan kota Mosul di Irak.
Para pemimpin dan komandan militer NIIS juga sudah banyak yang tewas akibat gempuran pesawat tempur koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat sejak tahun 2014 sampai saat ini.
Faktor Turki
Suplai milisi asing dari mancanegara untuk NIIS di Suriah juga berkurang drastis—untuk tidak mengatakan terhenti sama sekali—setelah keputusan Turki menutup perbatasan dengan Suriah untuk warga asing. Keputusan itu diambil semenjak Turki melancarkan operasi Perisai Eufrat pada Agustus 2016.
Turki juga menutup akses jalur logistik dari Turki atau mancanegara yang melalui wilayah Turki untuk NIIS di Suriah. Akibatnya, NIIS kehilangan suplai logistik lewat wilayah Turki.
Sebelum tahun 2016, Turki dikenal sebagai medan perjuangan halaman belakang NIIS. Hal ini karena melalui Turki, NIIS mendapat suplai milisi asing dan logistik. Aliran deras suplai milisi asing itu berasal dari sejumlah negara di Eropa, Afrika, Asia—termasuk Indonesia—dan negara-negara Arab.
Aliran terbesar suplai milisi asing untuk NIIS itu terjadi dari tahun 2012 hingga 2015. Pada 2012 hingga 2015, Turki menerapkan pintu terbuka bagi warga asing yang ingin bertempur di Suriah untuk membantu oposisi. Kebijakan tersebut dianut Turki dalam upaya membantu menumbangkan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad di Damaskus.
Milisi NIIS dari negara-negara luar dikenal sangat militan. Semangat tempur mereka lebih tinggi dibandingkan dengan milisi NIIS dari Suriah atau Irak sendiri. Bagi NIIS, milisi warga asing merupakan aset yang sangat berharga.
Karena itu, NIIS sesungguhnya sudah mulai runtuh sejak tahun 2016 ketika Turki menutup perbatasan untuk akses suplai logistik dan warga asing yang hendak menuju Suriah. Bersamaan dengan hilangnya akses Turki untuk suplai logistik dan milisi asing itu, gempuran terhadap posisi NIIS di Suriah dan Irak oleh koalisi internasional pimpinan AS semakin gencar.
Beda Raqqa-Mosul
Mulai tahun 2016 itu, setelah menyadari NIIS sudah mulai pudar dan terdesak, ditengarai banyak anggota milisi NIIS dari warga asing mencoba keluar dari Suriah untuk menyelamatkan diri. Itulah, antara lain, latar belakang yang membuat NIIS tidak mempertahankan mati-matian kota Raqqa ketika mendapat serangan SDF yang didukung AS pada Oktober 2017.
NIIS menyadari sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk mempertahankan kota Raqqa. Kota Raqqa pun jatuh ke tangan SDF tanpa pertempuran besar.
Hal itu berbeda dengan kota Mosul di Irak yang dipertahankan habis-habisan oleh NIIS sehingga pasukan Baghdad butuh waktu sembilan bulan—dari November 2016 hingga Juli 2017—untuk dapat mengusir NIIS dari kota Mosul.
Jatuhnya kota Raqqa yang begitu mudah dan jatuhnya kota Mosul yang cukup sulit menunjukkan perbedaan karakteristik kekuatan NIIS di Irak dan Suriah. Kekuatan NIIS di Suriah sangat tergantung pada akses logistik dan milisi asing melalui wilayah Turki. Ketika Turki menutup akses tersebut, NIIS di Suriah menjadi lunglai.
Sebaliknya, NIIS di Irak tidak tergantung pada kekuatan luar, tetapi dikenal memiliki sumber kekuatan sendiri, baik logistik maupun sumber daya manusia, terutama dari sisa-sisa pasukan Saddam Hussein yang bergabung dengan kelompok itu.