Trump-Moon Atasi Krisis
Ancaman pemimpin Korut Kim Jong Un untuk membatalkan pertemuan puncak dengan Presiden Donald Trump pada 12 Juni membuat posisi Korea Selatan terpojok.
SEOUL, MINGGU Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mendiskusikan perkembangan terakhir krisis di Semenanjung Korea, Minggu (20/5/2018), melalui percakapan telepon
Keduanya bersepakat menyukseskan pertemuan puncak antara Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un pada 12 Juni. Pertemuan itu terancam gagal setelah Kim mengancam akan membatalkannya.
Alasan Kim, antara lain, Korut merasa terancam dengan pelaksanaan latihan militer antara AS dan Korsel pekan lalu. Kim juga tak sepakat dengan tuntutan AS yang menginginkan Korut melakukan ”perlucutan senjata nuklir secara unilateral”.
Menurut rencana, Trump dan Moon akan bertemu di Washington, Selasa (22/5/2018), untuk membicarakan isu ini.
Dramatis
Perubahan sikap Korut terjadi sangat mendadak setelah dalam beberapa pekan terakhir Pyongyang menunjukkan sinyal-sinyal positif menuju denuklirisasi. Dalam pertemuan bersejarah antara Kim dan Moon April lalu, Kim mengumumkan, pihaknya bersedia melakukan denuklirisasi.
Pyongyang juga kemudian mengumumkan akan menutup semua lokasi uji coba senjata nuklir di wilayah Punggye-ri. Bahkan, Korut berjanji mengundang para jurnalis dari AS, Korsel, China, Rusia, dan Inggris untuk menyaksikan penutupan lokasi tersebut antara tanggal 23 Mei dan 25 Mei. Namun, sampai kemarin daftar wartawan Korsel belum disetujui.
Akhir pekan lalu, Ketua Dialog Antar-Korea dari Korut Ri Son Gwon menuduh Korsel ”berlagak bodoh dengan perkembangan situasi terakhir”.
Dalam komentarnya yang dipublikasikan kantor berita Korut, Ri menyebutkan, latihan militer AS-Korsel telah mempraktikkan strategi penyerangan terhadap target-target strategis di Korut.
Korut juga menuduh Korsel telah membiarkan ”manusia sampah” menyakiti harga diri kepemimpinan Korut. Tuduhan ini dikaitkan dengan jumpa pers yang dilakukan Thae Yong Ho, diplomat Korut yang membelot ke Selatan pada 2016.
Pada kesempatan itu, Thae menyatakan bahwa kemungkinannya sangat kecil Kim Jong Un akan menghentikan program nuklirnya atau membuka akses bagi pihak luar untuk memeriksa program nuklir Pyongyang.
Posisi tawar
Sejumlah pengamat tetap optimistis bahwa Korut tidak akan menutup semua jalur diplomasi yang telah dibangun dalam beberapa bulan terakhir. Mereka memperkirakan, Kim ingin meninggikan posisi tawar sebelum berlangsungnya pertemuan dengan Trump pada 12 Juni.
Terkait itu, Trump menyatakan, sikap AS tak akan berubah. Disebutkan bahwa para pejabat Korut saat ini sedang membicarakan secara rinci masalah logistik terkait pertemuan 12 Juni nanti di Singapura.
Trump menegaskan, ”Jika Korut sepakat melakukan denuklirisasi, Korut akan mendapatkan perlindungan yang sangat kuat.”
Namun, Trump mengingatkan, jika kesepakatan nuklir itu gagal, Kim akan menanggung akibatnya.
Trump merujuk pada Libya saat melucuti program nuklirnya. ”Cara seperti itu bisa terjadi jika kesepakatan tidak tercapai. Kita hancurkan negara itu. Tak ada kesepakatan untuk mempertahankan Khadafy,” kata Trump merujuk pada pemimpin Libya Moammar Khadafy.
Namun, sejumlah analis menilai, langkah Trump salah dengan membandingkan kasus Libya dengan Korut. Pada saat itu, Libya melucuti program nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi. Khadafy kemudian tewas secara mengenaskan di tangan para pemberontak pada kudeta Oktober 2011.
Selama ini, Korut justru menggunakan kasus kematian Khadafy sebagai alasan untuk mengembangkan program nuklir untuk menghadapi ancaman AS.
Pembelotan
Situasi yang tak menentu itu semakin memanas setelah Korut meminta Korsel memulangkan belasan pekerja Korut yang membelot ke Selatan pada 2016.
Pyongyang menuduh Seoul telah menculik ke-12 pekerja itu. Namun, Seoul menegaskan bahwa para pekerja itu membelot atas kemauan sendiri.
Menurut Lee Dong-bok, peneliti di Lembaga Penelitian Asia Baru, tuntutan Korut yang dikeluarkan Sabtu lalu itu merupakan upaya untuk memecah belah pandangan rakyat Korsel terhadap para pembelot.
”Ini juga sekaligus untuk menekan pemerintahan Moon agar menyetujui tuntutan itu. Bagaimanapun Korsel ingin dianggap mampu menyelenggarakan pertemuan Trump dan Kim,” kata Lee.
Pembelotan juga terjadi Sabtu lalu yang dilakukan dua warga Korut. ”Sebuah perahu kecil telah memasuki perairan di utara Pulau Baengnyeong. Kedua penumpang yang merupakan warga sipil menyatakan ingin membelot,” kata Lee.
November tahun lalu seorang tentara Korut membelot ke perbatasan Korsel di zona demiliterisasi Panmunjom. Tentara Korut yang sekarat karena diterjang sejumlah peluru itu akhirnya bisa diselamatkan (AP/AFP/REUTERS/MYR)