MANILA, SENIN Juru bicara Presiden Filipina Rodrigo Duterte, Harry Roque, menyatakan, Pemerintah Filipina menyampaikan keprihatinan mendalam atas pendaratan pesawat-pesawat pengebom China di wilayah sengketa Laut China Selatan. Kementerian Luar Negeri Filipina pun langsung mengambil langkah-langkah diplomatik yang diperlukan sebagai respons atas tindakan China itu.
Roque mengakui, pihaknya tidak dapat mengonfirmasi secara independen tentang pendaratan pesawat-pesawat pengebom China itu. Namun, Manila mencatat dengan cermat laporan-laporan yang diterimanya terkait aktivitas militer China di Lautan China Selatan (LCS).
”Kami mencatat laporan-laporan terkait hal itu dan kami menyatakan keprihatinan mendalam atas dampaknya bagi upaya-upaya mempertahankan perdamaian dan stabilitas di kawasan,” kata Roque dalam konferensi pers di kantor kepresidenan di Manila, Senin (21/5/2018).
Kementerian Luar Negeri Filipina menegaskan, negaranya akan berkomitmen melindungi setiap jengkal wilayah Filipina sesuai dengan hak-hak yang melekat. Manila menyatakan, sejumlah respons atas tindakan Beijing di LCS itu tidak akan dipublikasikan. Hal itu bagian dari strategi Manila menghadapi tindakan-tindakan Beijing.
Sejumlah pesawat pengebom diberitakan mendarat dan lepas landas dari sejumlah pulau dan gugusan di kawasan LCS pada pekan lalu. Lembaga Center for Strategic and International Studies menyatakan, pesawat pengebom China mendarat di Pulau Woody yang juga diklaim oleh Vietnam dan Taiwan pada Jumat pekan lalu.
Tindakan itu tidak hanya mendorong reaksi keprihatinan Pemerintah Filipina. Sejumlah anggota Dewan dari kubu oposisi di Manila menunjukkan kemarahan dan memprotes tindakan Beijing itu. Bahkan, militer Amerika Serikat langsung mengirimkan sejumlah kapal perangnya di kawasan yang masih disengketakan sejumlah negara itu. Washington menuduh Beijing melakukan upaya militerisasi di LCS.
”Militerisasi yang berlanjut di wilayah yang disengketakan di LCS hanya akan menambah ketegangan dan ketidakstabilan kawasan,” kata juru bicara Pentagon, Letnan Kolonel Laut Christopher Logan, melalui surat elektronik.
Vietnam juga mengecam tindakan terbaru Beijing itu. Hanoi mendesak Beijing sesegera mungkin menghentikan aktivitasnya di kawasan LCS. Menurut Kementerian Luar Negeri Vietnam, langkah Beijing itu secara serius telah melanggar kedaulatan Vietnam sekaligus meningkatkan tensi dan mengganggu kestabilan kawasan.
Vietnam telah sejak lama menentang langkah-langkah China di LCS. Namun, ketegangan di kawasan itu terasa meningkat sejak beberapa pekan terakhir. Bulan Mei ini juga, misalnya, Hanoi meminta Beijing menyingkirkan peralatan-peralatan militer dari Kepulauan Spratly. Desakan itu muncul setelah media CNBC memberitakan Beijing telah memasang peralatan militer, antara lain, berupa rudal antikapal.
Beijing membantah
Terkait tudingan soal aktivitas militernya pekan lalu, Beijing pun langsung membantahnya pada awal pekan ini. Selain menyatakan wilayah LCS itu adalah wilayah China, kegiatan militer itu dikatakan semata bagian dari kegiatan latihan rutin Beijing.
Pendaratan pesawat-pesawat pengebom itu adalah pendaratan pertama armada militer Beijing di kepulauan di LCS. Dari sejumlah pesawat pengebom yang mendarat itu, salah satunya adalah pesawat yang mampu menembakkan nuklir H-6K.
”Pulau-pulau di LCS adalah bagian dari wilayah China,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lu Kang, di Beijing.
Lu menyatakan, pergerakan pesawat-pesawat pengebom China itu adalah bagian dari latihan militer rutin negaranya. Lu balik menuduh langkah AS mengirim armada militernya di LCS justru membahayakan negara-negara di sekitarnya.
Pemerhati hubungan internasional, Dinna Wisnu, menyatakan, protes Filipina tepat secara prosedur diplomatik mengingat kedekatan jarak dan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA). Namun, Dinna menduga, China bakal mengabaikan protes itu karena negara itu memang tidak mencari persetujuan negara-negara sekitar atas penempatan kesiapan militernya.
Dinna mendorong Pemerintah Indonesia mengumpulkan informasi tentang posisi negara-negara anggota ASEAN terhadap China dalam perkembangan terkini itu, khususnya Filipina. Sebab, akan percuma juga ASEAN bersuara jika ada negara anggotanya yang kemudian tidak konsisten dalam bersikap terkait tindakan China di kawasan LCS.
”Seharusnya memang ASEAN satu suara atas nama kestabilan kawasan dan menolak proliferasi senjata di kawasan. Kalau isunya kestabilan kawasan dan antiproliferasi senjata, harusnya (ASEAN) bisa mencapai konsensus,” kata Dinna.