YOKOSUKA, SELASA Menjelang pertemuan antara Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, bulan depan, militer AS mengirim USS Milius, salah satu kapal perusak paling canggih milik Angkatan Laut AS, ke Jepang. USS Milius tiba di Pangkalan Angkatan Laut Yokosuka, Selasa (22/5/2018).
Milius dilengkapi sistem tempur Aegis yang telah ditingkatkan kemampuannya dan dipersenjatai rudal yang mampu menembak jatuh hulu ledak di angkasa. Milius menjadi bagian dari armada kapal perusak garis depan AS terhadap ancaman rudal jarak jauh Korut. Dengan mengirim Milius, AS seperti ingin unjuk kekuatan dan memberikan tekanan militer kepada Korut.
Sebaliknya, Korut mengancam tidak akan berdialog jika AS masih menggelar latihan militer dengan Korsel. Korut juga tidak mau berdialog jika AS tetap berkeras memaksa Korut menghancurkan simpanan nuklirnya, tetapi tidak disertai dengan tindakan yang sama dari AS. Trump mengingatkan, jika kesepakatan perlucutan nuklir tidak terwujud, akan mengikis kekuasaan Kim.
Di tengah persiapan teknis dialog, Trump bertemu Presiden Korsel Moon Jae-in di Gedung Putih. Moon tampaknya khawatir dialog akan gagal.
”Sepertinya Korsel melebih-lebihkan niat dan keinginan Korut untuk berdialog. Mungkin Moon akan ditegur Trump pada pertemuan itu,” kata Robert Kelly dari Universitas Nasional Pusan.
Wakil Presiden AS Mike Pence mengingatkan, Trump sudah siap menarik diri dari dialog jika Kim tidak bisa menerima hasil dialog. Pence juga menilai, pemerintahan Presiden AS Bill Clinton dan George W Bush pernah ”dipermainkan” Korut. Namun, kesalahan itu tidak akan terulang. ”Salah besar jika Kim Jong Un mengira akan bisa mempermainkan Donald Trump,” ujarnya.
Meski ada kemungkinan dialog itu gagal, Trump tetap optimistis. Bahkan, ia menawarkan jaminan keamanan bagi Kim untuk tetap berkuasa. Padahal, para pengamat khawatir Korut hanya mengulur waktu.
”Ada perbedaan harapan antara AS dan Korut. Korut mungkin saja mau membicarakan perlucutan nuklir, tetapi mereka juga berharap AS segera menghentikan ancaman. Bisa jadi syaratnya AS harus menarik 30.000 tentara dari Semenanjung Korea,” kata Eric Gomez dari lembaga kajian dan penelitian Cato Institute, AS.
Saksi penghancuran
Membuktikan janji dan komitmennya, Korut mengundang belasan wartawan China dan Barat, termasuk wartawan kantor berita The Associated Press, CNN, CBS, Russia Today, dan media China ke situs uji coba nuklir Punggye-ri. Namun, tidak ada ahli teknis nuklir yang diundang sehingga membuat banyak pihak meragukan niat Korut.
Dari banyak wartawan yang diundang, tak satu pun wartawan Korsel. Semula terdapat delapan wartawan Korsel yang diundang, tetapi kemudian dibatalkan. Alasannya, Korut memutuskan komunikasi tingkat tinggi dengan Korsel sebagai protes atas latihan militer AS dan Korsel.
Para pakar berbeda pendapat tentang penghancuran lokasi uji nuklir itu. Di satu sisi, hal itu dinilai tidak ada gunanya karena sikap Korut seperti itu pernah ditunjukkan ketika ditekan dunia. ”Lagi pula, lokasi uji nuklir bisa dibangun lagi. Korut mau menunjukkan pengorbanan sambil memberi kesan mereka punya simpanan nuklir yang cukup sehingga tidak perlu menguji lagi,” kata Kim Hyun-wook di Akademi Diplomatik Nasional Korea.
Direktur Program Kebijakan AS dan Korea Dewan Hubungan Internasional Scott Snyder menyatakan, ada risiko, upacara dan pertemuan bersejarah itu malah membayangi pelaksanaan hasil dialog. Apalagi mengingat hal itu pernah terjadi sebelumnya.
Pada 2008, rezim Korut pernah meledakkan menara pendingin reaktor atom di Yongbyon, fasilitas yang memproduksi plutonium. Pada waktu itu, penghancuran Yongbyon juga disaksikan wartawan asing. Penghancuran itu disebut sebagai bukti pemenuhan komitmen Korut untuk melucuti nuklir.
Sehari kemudian, Presiden AS George W Bush mencabut sanksi terhadap Korut. Namun, hasil dialog kedua negara seketika bubar ketika menara pendingin Yongbyon dibangun kembali dan reaktornya dihidupkan lagi. Upaya diplomasi kemudian macet dan Korut kembali menguji dan mengembangkan nuklir.
Guru Besar Universitas Georgetown Victor Cha mengatakan, kemungkinan terburuk yang bisa terjadi adalah pembatalan dialog. Namun, bisa jadi dialog menghasilkan kesepakatan perlucutan nuklir, perdamaian, dan janji pelaksanaan sesegera mungkin.
Para pakar menilai, skenario terbaik adalah meniru hasil kesepakatan nuklir dengan Iran, di mana Trump memilih mundur tanpa kelanjutan yang jelas atau Korut mengakhiri program nuklir dengan imbal balik AS mencabut sanksi. Kesepakatan seperti itu akan memberi jaminan kepada Kim kekuasaannya tak akan diganggu gugat.
Trump juga diingatkan untuk tidak mengumbar janji manis kepada Kim. ”Trump yang mengklaim sebagai perunding ulung sepertinya baru sadar proses dialog ini tidak akan semudah yang dibayangkan,” kata Direktur Program Korut di Woodrow Wilson Center Jean Lee.