BANGKOK, SELASA Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha kembali menegaskan, pemilihan umum tetap akan diselenggarakan awal tahun 2019. Mahasiswa melakukan aksi protes, menuduh pemerintah junta tak bisa dipercaya.
Hari Selasa (22/5/2018) merupakan perayaan tahun keempat pemerintahan junta militer setelah menggulingkan PM Yingluck Shinawatra tahun 2014. Ratusan mahasiswa menggelar aksi protes yang sebenarnya dilarang pemerintah.
Mereka menuntut pemilu diadakan bulan November tahun ini. Dalam aksi tersebut, para mahasiswa membawa boneka pinokio sebagai simbol kebohongan yang dilakukan pemerintah dalam hal penyelenggaraan pemilu.
PM Prayuth menyatakan, pemilu tak akan lebih cepat dari jadwal tahun depan. Ditanya perasaannya menghadapi protes ketidakpuasan terhadap pemerintahannya, ia mengatakan, dirinya baik-baik saja. ”Hari ini 22 Mei dan kami memeriksa apa yang telah kami kerjakan. Banyak sekali. Lebih baik beri kami dukungan,” kata jenderal militer ini.
Pada bagian lain, Prayuth mengatakan, ”Orang-orang ini telah mengutarakan pendapat berulang kali. Kami sudah memperhatikan apa yang mereka sampaikan sesuai dengan kapasitas kami.”
Sejak berkuasa, junta militer beberapa kali berjanji mengadakan pemilu yang demokratis. Junta militer yang sedianya memerintah sementara membentuk Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban (NCPO).
Namun, sampai empat tahun berlalu, pemilu belum diselenggarakan. Reformasi dan rekonsiliasi yang dijanjikan tak dijalankan, sementara skandal-skandal korupsi terus terjadi.
”Kami ingin pemilu. Tidak ada yang bisa menjamin Februari akan dilaksanakan (pemilu),” kata Anuthee Dejthevaporn (30), peserta unjuk rasa. Polisi memblokade jalan menuju kantor perdana menteri yang menjadi sasaran demonstran.
Serahkan diri
Sekitar 3.000 petugas keamanan ditugaskan menghadang demonstrasi yang diikuti lebih kurang 200 orang. Petugas keamanan memperingatkan pengunjuk rasa menghindari jalan-jalan yang ditetapkan sebagai zona larangan berkumpul.
Delapan pemimpin demonstrasi menyerahkan diri kepada polisi. Sebagian lainnya pada sore hari membubarkan diri setelah rekan-rekan mereka ditahan.
Sejak melakukan kudeta, PM Prayuth memberlakukan larangan berkumpul lebih dari lima orang. Aparat bisa bertindak jika larangan ini dilanggar. Meski demikian, sepanjang pemerintahannya, sekian banyak aksi protes tetap dilakukan warga.
Amnesti Internasional mengingatkan kembali pemerintah junta untuk menjaga hak-hak warga. ”Pembatasan yang bersifat menyeluruh dan tidak sesuai dengan hak asasi manusia yang diterapkan junta setelah kudeta seharusnya hanya sementara dan bersifat luar biasa,” demikian pernyataan Katherine Gerson dari Amnesti Internasional Asia Tenggara.
”Masa empat tahun sudah berjalan dan penyalahgunaan kekuasaan tak terbilang. Mereka tetap keras dan tanpa henti melakukannya atas nama kewenangan,” lanjut Gerson.
Sejumlah pengamat mengatakan, Prayuth yang dulu memimpin kudeta berupaya terus mempertahankan kekuasaan politik. Ia berusaha cenderung mempertahankan kedudukannya, bahkan seandainya nanti pemilu digelar.
Setelah keluarga Shinawatra—Thaksin dan Yingluck—melarikan diri ke luar negeri, belum tampak tokoh yang kuat untuk menjadi pemimpin Thailand. Kakak beradik Thaksin dan Yingluck pernah menjadi perdana menteri lewat pemilu.