JAKARTA, KOMPAS Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan merupakan pembela dan penganjur sekularisme. Hal ini tidak lepas dari konstitusi Turki yang menyatakan negara itu sebagai negara sekuler. Di era Erdogan yang berkuasa sebagai presiden sejak 2014 setelah menjadi perdana menteri (2003-2014), Turki terus berpegang pada sekularisme dan menjaga demokrasi.
Direktur Moderate Muslim Society Zuhairi Misrawi mengatakan, Erdogan pernah menganjurkan Mesir agar menjadi negara liberal juga. Anjuran itu disampaikan Erdogan kepada Presiden Mesir Muhammad Mursi yang terpilih tahun 2012. ”Dia menyatakan, jika Mesir ingin maju, ubah konstitusi jadi sekuler,” ujar Zuhairi dalam bedah buku Turki, Revolusi Tak Pernah Henti di kantor Redaksi Kompas, Jakarta, Rabu (23/5/2108).
Buku tersebut ditulis Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Trias Kuncahyono. Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat juga menjadi pembahas.
Trias mengatakan, buku yang dia tulis menguraikan Turki sejak era berakhirnya masa Ottoman hingga Erdogan. Buku itu mulai ditulis setelah percobaan kudeta yang gagal pada 15 Juli 2016.
”Turki berubah (dari kekhalifahan menjadi republik) karena muak dengan otoritarianisme berjubah agama,” kata Zuhairi
Meski berusia panjang, kekhalifahan Turki runtuh karena otoritarianisme. Sebagai ganti negara berbasis agama, Turki menjadi negara sekuler sampai kini. ”Konstitusi Turki eksplisit menyebut sekularisme,” ujarnya.
Turki berjasa karena memadukan sekularisme dan Islam. Erdogan juga menerima sekularisme dan tetap menjaga demokrasi sebagai sistem yang tidak bisa diganggu gugat. ”Sistem demokrasi Turki baik, paling tidak karena presiden dipilih lewat pemilu,” lanjut Zuhairi.
Turki memakai demokrasi untuk memajukan ekonomi dan melahirkan kelas menengah baru. Kemajuan ekonomi Turki disebut salah satu kunci penyebab gerakan politik Islam dan Islamisme tak terlalu berkembang di Turki. ”Dari 23 persen, kini hanya 6 persen orang Turki percaya khalifah,” kata Zuhairi.
Mengenai sekularisme Turki, Komaruddin mengatakan, meski negara menganut paham sekuler, masyarakat Turki tetap setia dengan identitas keislamannya. Hanya saja, meski religius, masyarakat Turki tidak menerima bakal calon pejabat yang hanya mengandalkan simbol agama. Seorang bakal calon harus menawarkan program konkret kepada masyarakat.
Turki, lanjut Komaruddin, memiliki kesamaan dengan Indonesia, yakni sama-sama negara berpenduduk mayoritas Muslim yang tidak terlalu ter-Arab-kan (the least Arabized Muslim countries). Eksperimen Turki dalam menjalankan sekularisme dan demokrasi bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia. (RAZ)