Italia yang Populis, Persoalan Serius UE
Dalam pemilu Maret lalu, partai populis Gerakan 5 Bintang pimpinan Luigi di Maio memenangi suara terbanyak (32 persen), disusul oleh partai pemerintah, Partai Demokrat (18,9 persen), dan koalisi ekstrem kanan Liga Utara pimpinan Matteo Salvini (17,69 persen) dan Forza Italia pimpinan Silvio Berlusconi (13,94 persen).
Berhubung tidak ada partai yang bisa langsung menguasai kursi parlemen, selama 11 pekan terakhir Italia mengalami ”parlemen menggantung”. Koalisi sulit tercapai karena adanya perbedaan mendasar dalam program kerja.
Baru pekan lalu 5 Bintang dan Liga menyatakan siap berkoalisi dengan menjembatani perbedaan di antara mereka. Gabungan antara partai populis dan partai ekstrem kanan ini membuat khawatir bukan saja blok Uni Eropa, melainkan juga pasar internasional.
Perkawinan program kerja kedua partai ini diperkirakan akan membuat defisit anggaran Italia semakin membesar. Terlebih Italia saat ini merupakan salah satu negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di Eropa, dengan utang sebesar 250 miliar euro.
Program utama 5 Bintang adalah menaikkan upah minimum menjadi 780 euro (920 dollar AS) per bulan, yang membutuhkan dana sekitar 17 miliar euro per tahun. Rencana lainnya adalah membatalkan reformasi dana pensiun yang membutuhkan 15 miliar euro setiap tahun serta menghilangkan pajak penjualan, yang akan menyedot minimal 12,5 miliar euro per tahun.
Adapun program utama Liga ialah menetapkan pajak penghasilan flat sebesar 15 persen, yang akan mengurangi anggaran negara sampai 80 miliar euro setiap tahunnya. Intinya, jika diterapkan, program kerja koalisi ini akan mengguncang sistem ekonomi Italia dan sudah pasti akan bertentangan dengan aturan fiskal yang ditetapkan Brussels.
The Economist (25/5/2018) menulis, jika masing-masing partai ini berdiri sendiri pun, programnya sudah membahayakan (sistem ekonomi), apalagi jika digabungkan. Italia diperkirakan akan memiliki kebijakan fiskal yang ”tidak bertanggung jawab”. Defisit anggaran Italia diprediksi akan meningkat dari 2,3 persen terhadap PDB menjadi 3 persen, dan ini melanggar aturan Eropa.
Dari mana pemerintahan baru akan membiayai programnya? Koalisi menyebutkan, mereka akan meminta Uni Eropa untuk memutihkan utang Italia yang mencapai 250 miliar euro dan meminta dana untuk membiayai program terkait upah minimum.
Yang juga membuat Uni Eropa resah, kedua partai ini anti-zona euro. Presiden Italia Sergio Mattarella sudah menyatakan kepada Perdana Menteri Giuseppe Conte dan juga kepada Di Maio dan Salvini bahwa Italia harus mengikuti komitmen Eropa.
Namun, Di Maio dan Salvini tetap berkeras menetapkan Paolo Savona sebagai menteri ekonomi. Savona sebelumnya menyebut Italia melakukan ”kesalahan sejarah” karena mengadopsi mata uang euro. Ia pun mengusulkan Italia kembali ke lira.
Sejumlah pejabat Uni Eropa menyatakan, Brussels tidak akan memaksakan aturan ekonomi kepada Italia, tetapi pasar keuangan yang akan menentukan kelak. Sejauh ini, reaksi pasar terhadap sinyalemen ”kembali ke lira” secara umum negatif.
Anti-imigran
Kemenangan partai 5 Bintang maupun Liga dalam pemilu lalu didorong oleh kekecewaan rakyat Italia terhadap Brussels yang tidak bisa mengatasi masalah migran. Saat ini, Italia telah menampung lebih dari 600.000 pengungsi/migran yang datang dari pesisir Libya dengan menyeberangi Laut Tengah.
Sejak pecah perang Suriah, lebih dari satu juta orang migran berupaya mencapai daratan Eropa melalui dua pintu masuk, yaitu Yunani dan Italia. Namun, setelah UE melakukan kesepakatan dengan Turki, arus masuk para migran dari Turki ke Yunani menurun drastis. Italia lalu menjadi serbuan para migran ilegal.
Baik 5 Bintang maupun Liga sejak awal menentang Italia menjadi penampung pengungsi. Sikap negara-negara lain di Uni Eropa (antara lain Ceko, Slowakia, Polandia, dan Hongaria), yang secara sepihak menolak mandat Brussels untuk menerima kuota pengungsi, semakin membuat marah warga Italia. Brussels ternyata tidak memberlakukan sanksi kepada negara-negara tersebut.
Matteo Salvini, yang akan menjadi menteri dalam negeri, baru berjanji akan segera mendeportasi 500.000 pengungsi dan migran yang ada di Italia dalam jangka waktu lima tahun. ”Satu-satunya obat terhadap rasisme adalah mengontrol, mengatur, dan membatasi imigran. Saat ini, ada jutaan penduduk Italia yang mengalami kesulitan ekonomi. Warga Italia tidak rasis, tetapi imigrasi yang tak terkontrol membuat respons negatif bermunculan. Kami ingin mencegah itu,” kata Salvini seperti dikutip express.co.id.
Luigi di Maio yang akan menjadi menteri tenaga kerja berpendapat serupa. Ia berjanji akan langsung menghentikan penerimaan migran begitu pemerintahan baru terbentuk.
Pemerintahan baru Italia akan menjadi kerikil tajam bagi UE yang saat ini tengah bergulat menangani Brexit. Para analis berpendapat, isu Brexit akan lebih mudah ditangani dibandingkan dengan isu Italia.
Alasannya, ketika sebagian besar rakyat Inggris merasa tidak cocok lagi dengan aturan Brussels, mereka mengadakan referendum dan menyatakan keluar dari UE. Di dalam perundingan Brexit, terlihat posisi UE berada di atas angin di hampir semua proses negosiasi dengan Inggris. Dengan kata lain, Brexit tidak lagi menjadi momok besar dalam perjalanan UE.
Namun, berbeda dengan Italia, pemerintahan baru ini menunjukkan ketidaksepakatan dalam sejumlah aturan fundamental UE. Namun, mereka tetap berada di blok UE. Pembangkangan Italia akan menggerogoti dari dalam agenda reformasi ekonomi yang dicanangkan UE.
Ini menjadi tantangan serius blok Uni Eropa setelah sejumlah anggotanya memiliki pemerintahan yang populis dan ekstrem kanan.