Trump Membawa AS pada Kesendirian
AS telah menarik diri dari kesepakatan nuklir dengan Iran. Di masa lalu, konsekuensinya secara tradisional adalah hubungan ekonomi dunia yang menegang dengan Iran. Namun kini, ketegangan hanya terjadi dalam relasi ekonomi AS-Iran, yang memang tidak pernah berjaya. Dunia kini tidak akan mengikuti AS untuk menghukum Iran.
Pada 2 Mei 2018, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying memberi penegasan, “Semua pihak harus melanjutkan kesepakatan nuklir dengan Iran.” Ini sinyal jelas soal penolakan China pada langkah AS tentang Iran, terkait pengunduran diri Presiden AS Donald Trump dari kesepakatan nuklir dunia dengan Iran.
Pernyataan ini sekaligus pertanda China tidak akan menghentikan relasi bisnis dengan Iran. Pada hari yang sama kereta pengangkut barang China tiba dari Iran “Dengan kebutuhan minyak yang besar, sanksi AS kecil kemungkinan membuat China mendukung AS soal Iran,” kata Victor Shum, Wakil Presiden IHS Markit bidang bisnis energi, kepada televisi CNBC, 8 Mei 2018.
Secara geopolitik, AS di bawah Trump menganulir banyak hal yang dilakukan pendahulunya, Presiden Barack Obama. Ini diragukan akan berhasil untuk tidak mengatakan Trump akan gagal total. China muncul sebagai kekuatan yang berpotensi menetralisir semua tekanan AS. Rusia tidak terkena efek terlalu berat akibat sanksi ekonomi Eropa karena faktor China.
Trump terobsesi membatalkan apapun yang telah diraih Obama.
Bahkan Jerman dan Uni Eropa, yang selama ini menjadi sekutu tradisional AS, juga jengkel dengan keputusan AS soal Iran itu. Harian Inggris The Financial Times edisi 12 Mei menuliskan, “Sejarah mungkin akan mengenang hari saat AS mengabaikan para sekutunya … AS bertindak tanpa melibatkan satupun mitranya di Eropa.”
Harian Perancis Le Monde, menurut kantor berita Reuters menuliskan bahwa Trump terobsesi membatalkan apapun yang telah diraih Obama.
Televisi Jerman Deutsche Welle (DW) mengutip analis keamanan Markus Kaim bahwa pebisnis Perancis, Inggris akan dirugikan dengan sanksi AS atas Iran. Akan tetapi Eropa akan rugi sendiri jika menuruti kemauan AS. Iran adalah sebuah potensi pasar ekonomi bagi Uni Eropa.
Tampaknya ada perlawanan secara tersirat pada AS. “Jerman harus mengakui sulit mencegah perusahaan-perusahaan Jerman berbisnis dengan Iran,” demikian dikatakan Presiden Kamar Dagang dan Industri Jerman, Eric Schweitzer, di Berlin, 20 Mei 2018.
Jerman memang jengkel karena AS bersikap keras terhadap sekutu Eropanya itu. Perusahaan-perusahaan Jerman terancam dikenakan tarif 25 persen untuk ekspor baja ke AS.
Ini lah logika yang absurd: sekutu diminta turut menghukum Iran tetapi di sisi lain perusahaan-perusahaan Eropa terancam tarif. Hal ini membawa Presiden Kadin Jerman pada penyataan agar Uni Eropa menolak tegas AS. “Kita akan bergerak ke arah yang salah jika kita otomatis bereaksi terhadap tuntutan yang tidak beralasan …,” katanya.
AS mengutamakan dirinya tetapi tidak saksama memikirkan efek kebijakannya pada tali temali bisnis global, termasuk dengan para sekutunya. Ini akan mengarahkan AS pada kesendirian.
“Makna ‘America First’ kini mengarah pada ‘America Alone’,” kata Schweitzer. AS berpotensi ditinggalkan termasuk para sekutunya dalam hal kolaborasi perekonomian global.
Trump mencekik sekutu
Pernyataan bernada jengkel juga muncul dari sekutu utama AS di Asia, Jepang, yang masuk dalam ancaman tarif impor baja. Pada 18 Mei 2018, Kementerian Luar Negeri Jepang menyatakan telah memberi tahu Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Jepang berhak melakukan tindakan balasan jika AS merealisasikan pengenaan tarif baja asal Jepang. “Pemerintah Jepang akan melakukan balasan atas setiap langkah AS,” demikian pernyataan Jepang.
Pada sebuah pertemuan di Sofia, Bulgaria, 17 Mei 2018, Uni Eropa (UE) juga menegaskan agar Presiden Trump tidak menekan kelompok itu lewat tarif. “Ini soal kedaulatan ekonomi Eropa, kami menghendaki pengecualian soal tarif baja tanpa batas,” kata Presiden Perancis Emmanuel Macron pada pertemuan UE dengan negara-negara Balkan.
Di daerahnya sendiri, Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), yang beranggotakan AS, Kanada dan Meksiko, Trump juga menghadapi perlawanan. Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau dan berbagai pejabat dari Meksiko terus melawan rencana AS yang berniat mengubah NAFTA.
AS menuntut Kanada dan Meksiko mengubah kebijakan agar memberi keuntungan bagi pebisnis AS. Selama ini para pebisnis di AS sudah tak bisa lagi meraih efisiensi dengan hanya mendirikan bisnis di AS. Itu sebabnya mereka mulai memindahkan pusat-pusat produksinya ke negara-negara tetangga, yang tidak disukai Trump.
Meksiko, misalnya, diminta menaikkan upah buruh agar produk AS mampu bersaing. AS juga menuntut agar proses produksi mobil di NAFTA minimal 75 persen harus asli buatan di NAFTA (AS, Kanada, Meksiko). Kanada dan Meksiko bukan negara handal dalam otomotif. Ini artinya, pemakaian komponen AS menjadi keharusan.
Ekspor otomotif dari Meksiko dan Kanada untuk tujuan AS harus memiliki komponen minimal 75 persen. Jika ada komponen Eropa, Jepang, atau China dengan porsi lebih 25 persen, AS menolak. Kanada dan Meksiko tidak menerima tuntutan ini.
Inilah yang disebut ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001 Joseph E Stiglitz bahwa Trump, “Tidak memahami jaringan produksi global.” Untuk alasan politik, Trump mencoba membalikkan 70 tahun proses perjanjian internasional yang telah menciptakan jaringan industri di mana perbatasan bukan masalah.
Stiglitz bahkan mencap Donald Trump sebagai seorang ‘demagog’. Dengan aksinya soal tarif sama artinya menghukum warga biasa AS. “Kita memiliki seorang demagog yang juga seorang Presiden,” kata Stiglitz saat berbicara di sebuah seminar di Beijing (The South China Morning Post, 12 April).
Kata ‘demagog’ merujuk pada pemimpin politik yang meraih dukungan dengan retorika, berbicara soal mimpi-mimpi tetapi tidak berdasarkan nalar.
Kita memiliki seorang demagog yang juga seorang Presiden.
Hasil riset ekonom Arnaud Costinot dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Andres Rodriguez-Clare dari University of California at Berkeley menunjukkan ada keuntungan 2 hingga 8 persen dari perdagangan internasional terhadap produksi domestik bruto (PDB) AS.
Keuntungan ini berupa masuknya produk impor dengan harga lebih murah. Nilai keuntungan itu sekitar 400 miliar hingga 1,6 triliun dollar AS.
Belum tuntas satu masalah sudah muncul lagi masalah baru. Trump kembali berulah dengan pertanyataannya pada hari Rabu (23/5/2018). AS akan mengenakan tarif 25 persen terhadap impor mobil.
Pernyataan Trump ini langsung memengaruhi harga-harga saham Toyota Motor Corp, Hyundai Motor Co, BMW AG, Volkswagen AG, Daimler AG, para eksportir utama mobil ke AS.
Mitra AS memberi peringatan bahwa rencana itu akan memukul sekutu dan mengakibatkan disrupsi industri otomotif global. “Jika diberlakukan akan menyebabkan restriksi besar dalam perdagangan dan mengacaukan pasar global. Ini sangat disayangkan,” demikian pernyataan Menteri Perdagangan Jepang, Hiroshige Seko.
Mendalami kerja sama
Di tengah semua ini AS tampak menuju kesendirian. AS sibuk menghardik semua mitra dagang untuk tunduk dan semuanya menolak. Di sisi lain Eropa, China dan Kanada menempuh langkah berbeda. Eropa mendalami pengembangan pasar baru untuk kawasan Balkan, memperdalam kerja sama ekonomi dengan China.
Kanselir Jerman Angela Merkel berkunjung ke China, salah satu misinya adalah pendalaman hubungan ekonomi. Perdana Menteri Kanada pun melakukan hal serupa, kini lebih fokus mendalami kerja sama dengan Asia Pasifik.
Maka benarlah peringatan Presiden Kadin Jerman, AS kini sedang mengarah pada kesendirian.
Di dalam negeri sendiri pun Trump dinilai tidak menunjukkan kinerja baik pada awal pemerintahannya secara umum jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Ekonom Robert Shapiro dari Georgetown University pada 17 Mei di situs www.brookings.edu, menuliskan Trump berada di belakang para pendahulunya soal pertumbuhan ekonomi.
Trump hanya unggul dari beberapa presiden pendahulu, yang mulai menjabat saat perekonomian dalam resesi. “Banyak ekonom termasuk saya menegaskan bahwa kebijakan perpajakan Trump dan perubahan peraturan hanya memberi sedikit efek pada investasi.” Tulisan Shapiro itu merupakan reaksi atas penyataan-pernyataan politik Trump, yang beberapa kali mengatakan, ekonomi bangkit selama pemerintahannya.
Ada indikasi pertumbuhan tetapi dengan fondasi yang rapuh dan siap membawa AS segera ke dalam resesi, kata Shapiro. (AFP/AP/Reuters)