ROMA, SELASA Italia memasuki krisis politik baru setelah Presiden Sergio Mattarella menolak kabinet bentukan pemerintahan baru yang memasukkan nama Paolo Savona sebagai menteri ekonomi.
Paolo Savona dikenal sebagai anti-euro dan memiliki ide untuk mengembalikan mata uang Italia ke lira. Ia diusulkan oleh pemerintahan baru yang merupakan gabungan antara partai populis 5 Bintang dan partai ekstrem kanan Liga.
Koalisi kedua partai ini mengundang kecemasan di pasar ekonomi dunia dan Uni Eropa karena program kerja mereka akan membuat defisit anggaran Italia semakin membesar.
Mattarella telah mengingatkan Pemimpin 5 Bintang Luigi di Maio dan Pemimpin Liga Matteo Salvini serta Perdana Menteri terpilih Giuseppe Conte untuk membentuk kabinet yang ”sejalan dengan arah Eropa”.
Namun, baik Di Maio maupun Salvini tak mau tunduk pada permintaan Mattarella dan tetap memasukkan nama Savona sebagai menteri ekonomi. Mereka juga mengancam akan menuntut digelar pemilu baru jika kabinet tidak disahkan.
Nyatanya, Mattarella menolak susunan kabinet itu sehingga PM Giuseppe Conte mundur. Mattarella menetapkan penjabat PM Carlo Cottarelli untuk membentuk pemerintahan sementara sampai digelar pemilu baru sekitar awal 2019.
Namun, kubu koalisi 5 Bintang dan Liga yang menguasai mayoritas kursi parlemen dipastikan akan memveto pemerintahan sementara Cottarelli. Jika hal itu terjadi, pemilihan umum akan diselenggarakan lebih cepat, yakni sekitar Agustus 2018.
Baik 5 Bintang maupun Liga, yang berang dengan keputusan Presiden Mattarella, menyebut presiden telah sewenang-wenang mengabaikan mandat rakyat. Kubu Di Maio dan Salvini akan mengupayakan pemakzulan terhadap Mattarella. Kedua kubu itu juga mengajak rakyat menggelar demo besar-besaran, Sabtu (2/6/2018), bertepatan dengan perayaan Italia menjadi republik.
”Ini bukanlah demokrasi. Tak ada penghargaan terhadap suara rakyat. Ini hanyalah napas terakhir penguasa yang ingin membuat Italia ketakutan dan terus menjadi budak,” kata Salvini.
Ekonom di Milan, Nicola Nobile, mengatakan, pemilu baru akan menjadi semacam referendum de facto tehadap keanggotaaan Italia di zona euro.
Namun, analis politik Massimo Franco menyebutkan, strategi yang dilakukan Salvini untuk menempatkan Presiden Mattarella dalam posisi sulit merupakan provokasi yang disengaja. Dengan pemilu baru, Salvini berharap partainya bisa meraih suara lebih besar sehingga mandat untuk memerintah makin besar.
Respons negatif
Krisis Italia direspons negatif oleh pasar ekonomi akibat ketidakpastian politik yang sudah berlangsung sejak setelah pemilu Maret. Pasar bursa pada Selasa (29/5/2018) turun lebih dari 2 persen serta rentang antara obligasi pemerintah (bond yield) dan Jerman yang menjadi patokan mendekati 230 atau yang tertinggi sejak 2013.
Bursa di Milan, Paris, dan Frankfurt juga mengalami penurunan signifikan dan mata uang euro melemah terhadap dollar AS. Analis menilai, situasi ini akan menjadi tantangan berat bagi zona euro setelah krisis utang Yunani.
Perkembangan yang tak menentu di Italia ini juga membuat khawatir para investor asing, yang menganggap pemilu baru akan semakin memperkuat sentimen anti- euro.
Tekanan terhadap euro juga bertambah setelah PM Spanyol Mariano Rajoy menghadapi kemungkinan mosi tidak percaya karena partainya dinyatakan bersalah dalam penyalahgunaan anggaran.
”Saat ini kita menghadapi periode ketidakpastian yang lebih panjang dengan kemungkinan pemilu baru di Italia,” kata Ray Attrill dari Bank Nasional Australia di Sydney.