SEOUL, SELASA Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengirim ”tangan kanannya”, Jenderal Kim Yong Chol, ke Amerika Serikat sebagai bagian dari langkah mempersiapkan pertemuan tingkat tinggi antara dirinya dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Kim Yong Chol (72)—yang juga menjabat Wakil Ketua Partai Buruh Korut—transit di Beijing, Selasa (29/5/2018), dalam perjalanan menuju New York, AS. Selama ini Kim Yong Chol selalu mendampingi Kim Jong Un saat bertemu Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Presiden China Xi Jinping.
Trump membenarkan rencana kunjungan Kim Yong Chol ke AS. ”Ada tim yang bertemu terus untuk membahas pertemuan tingkat tinggi. Wakil pemimpin Korut, Kim Yong Chol, sedang menuju ke New York,” tulis Trump di Twitter.
Pengamat pada Institut Korea untuk Unifikasi Nasional, Chung Sung-yoon, mengatakan, Kim Yong Chol bakal menjadi pejabat Korut tertinggi yang memasuki wilayah AS sejak tangan kanan Kim Jong Il, Jo Myong Rok, bertemu Presiden AS Bill Clinton tahun 2000. Posisi senior Kim Yong Chol menempatkannya di posisi penting dalam upaya diplomasi perlucutan nuklir Korea.
Sebelum mendapat tugas menangani hubungan Korut-Korsel pada 2016, Kim Yong Chol merupakan jenderal bintang empat dan kepala intelijen militer yang diduga berada di balik dua serangan, yakni serangan ke kapal laut Korsel tahun 2010 yang mengakibatkan 46 pelaut Korsel tewas dan serangan siber Korut pada perusahaan Sony Pictures, AS, tahun 2014. Karena dituduh mendalangi insiden itu, AS menjatuhkan sanksi terhadap Kim Yong Chol dengan larangan masuk ke wilayah AS. Korut membantah semua tuduhan itu.
Khawatir ”deja vu”
Kedatangan Kim Yong Chol ke AS mungkin akan mencerahkan prospek pertemuan Trump-Kim Jong Un. Namun, melihat pengalaman sebelumnya, segala kemungkinan bisa terjadi pada detik-detik terakhir.
Bisa jadi, rencana yang sudah diatur apik oleh kedua pihak kemudian batal. Atau, bisa jadi juga, kunjungan pejabat tinggi Korut itu tak berujung pada pertemuan tingkat tinggi. Hal ini pernah terjadi 18 tahun yang lalu.
Pada Oktober 2000, Kim Jong Il, ayah Kim Jong Un, mengirimkan Jo Myong Rok ke AS bertemu Clinton. Jo Myong Rok membawa surat Kim Jong Il serta bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright dan Menteri Pertahanan William Cohen. Ketika itu, Jo Myong Rok mengatakan, hubungan yang lebih baik antara Korut dan AS akan menguntungkan kedua pihak dan baik bagi stabilitas keamanan dan perdamaian di Semenanjung Korea dan Asia Timur Laut.
Sekitar tiga pekan kemudian, gantian Albright yang bertandang ke Pyongyang untuk mempersiapkan kunjungan Clinton ke Korut. Selama berada di Pyongyang, Kim Jong Il memamerkan roket ke Albright. ”Ini akan menjadi roket balistik terakhir kami,” kata Kim Jong Il waktu itu.
Hubungan yang menghangat itu kembali dingin saat Presiden George W Bush memimpin pada Januari 2001. Tidak seperti Clinton yang memilih dialog dan perdamaian, Bush memilih bersikap keras pada Korut. Konfrontasi di antara kedua negara makin parah sejak 2002 setelah Bush menuding Korut mengembangkan program pengayaan uranium secara diam-diam. Tindakan Korut dinilai AS melanggar kesepakatan perlucutan pada 1994.
Para pengamat menduga, agenda Kim Yong Chol datang ke AS adalah untuk membicarakan masa depan program nuklir Korut, jaminan keamanan AS, dan koordinasi pertemuan di Singapura, 12 Juni mendatang.
”Agenda terpenting barangkali membahas metode perlucutan nuklir,” kata mantan pejabat militer Korsel, Moon Sung-mook, yang pernah bertemu Kim Yong Chol dalam beberapa perundingan Korsel-Korut di masa lalu.
Dalam pertemuan Korsel dan Korut, 27 April lalu, Kim Jong Un dan Presiden Korsel Moon Jae-in sepakat mengupayakan perlucutan nuklir seutuhnya di seluruh Semenanjung Korea. Namun, dalam pertemuan itu belum ada penyamaan persepsi tentang perlucutan nuklir atau metode perlucutannya. Sejak pertemuan itu, Korut menolak tuntutan AS melucuti nuklir karena Korut merasa itu tidak adil.
Sejak itu pula, Korut menuntut AS menghentikan latihan militer bersama dengan Korsel jika AS sungguh-sungguh mau berbicara dengan Korut. Kementerian Pertahanan Korsel menegaskan tak akan menghentikan rencana latihan militer bersama dengan AS itu. Selain itu, bagi Korut, senjata nuklir dan rudal itu alat pertahanan diri jika diserang AS.
Sejak Perang Korea 1950-1953 disepakati berakhir dengan gencatan senjata, AS menempatkan sekitar 28.500 tentara di Korsel.