Beda Persepsi Perlucutan
SEOUL, RABU Di tengah persiapan pertemuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, Rusia mulai mendekati Korut membicarakan rencana perlucutan nuklir negara itu. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov akan datang ke Korut, Kamis ini. Kunjungan itu sekaligus balasan terhadap kunjungan Menlu Korut Ri Yong Ho ke Rusia bulan lalu.
Sementara itu, tangan kanan Kim Jong Un, yakni Kim Yong Chol, menuju New York, Amerika Serikat, untuk memastikan pelaksanaan pertemuan Presiden Trump dan Kim Jong Un. Kim Yong Chol dijadwalkan bertemu Menlu AS Mike Pompeo.
Juru bicara Gedung Putih, Sarah Sanders, menjelaskan, sejak Trump berkirim surat ke Korut, 24 Mei, komunikasi semakin intensif. Berkat komunikasi intensif ini, AS memutuskan tetap melaksanakan persiapan pertemuan di Singapura, 12 Juni mendatang. ”Persiapan pertemuan tak pernah dihentikan,” ujarnya.
Kim Yong Chol akan menjadi pejabat tinggi pertama yang masuk ke AS setelah pertemuan pejabat AS-Korut pada 2000. Kim Yong Chol merupakan tokoh dihormati di Korut, tetapi dibenci di Korea Selatan. Penyebabnya, ia diduga mendalangi serangan ke kapal Korsel, Cheonan, yang menewaskan 46 pelaut Korsel pada 2010. Namun, Korut membantah tuduhan itu.
Sejak 2009 hingga 2016, Kim Yong Chol juga memimpin badan intelijen Korut yang mendapat tugas mengumpulkan data intelijen dan melaksanakan perang siber. Kim Yong Chol termasuk salah satu pejabat tinggi Korut yang dijatuhi sanksi AS. Namun, dengan kunjungan ke AS ini, menurut juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Heather Nauert, sanksi terhadap dirinya dinonaktifkan untuk sementara.
Jika jadwal pertemuan Trump dan Kim Jong Un tidak berubah, persiapannya tinggal dua minggu. Misi utama pertemuan ini adalah menyelesaikan persoalan penting, yakni konsep dan bentuk praktik perlucutan nuklir. Kedua belah pihak sudah sepakat menginginkan perlucutan nuklir, tetapi masih ada perbedaan tentang definisi perlucutan nuklir.
Pihak AS menginginkan Korut segera menghentikan dan melenyapkan senjata nuklir dengan ”imbalan” bantuan ekonomi dan pencabutan sanksi. Para pengamat tidak yakin Korut akan mau melepaskan simpanan nuklir kecuali AS memberi jaminan tidak akan menyerang Korut dan menggulingkan kekuasaan.
Dampingi Kim Jong Un
Kim Yong Chol yang menjadi tangan kanan Kim Jong Un adalah jenderal bintang empat. Ia juga menjabat Wakil Ketua Komite Pusat di Partai Buruh dan Direktur Departemen Front Bersatu yang bertanggung jawab menangani hubungan Korut-Korsel. Dengan posisi itu, Kim Yong Chol menjadi salah satu pejabat paling berkuasa di Korut. Ia selalu mendampingi Kim Jong Un dalam beberapa perundingan.
Peran yang paling terlihat adalah ketika ia dikirim sebagai utusan khusus Kim Jong Un di Olimpiade Musim Dingin Korsel, Februari. Pada saat itu, Kim Yong Chol bertemu Presiden Korsel Moon Jae-in dan mengatakan Korut mau berbicara dengan AS. Hal ini menjadi indikasi awal perubahan Korut setelah berbulan-bulan perang kata-kata dengan AS.
”Kim Yong Chol adalah perunding jago dan sulit dilawan. Ia juga ahli dalam urusan perundingan antar-Korea. Namun, selama ini ia menjadi simbol bagi kelompok garis keras, bukan orang yang menginginkan hubungan harmonis dan rekonsiliasi,” kata mantan pejabat Kementerian Pertahanan Korsel, Moon Sang-gyun.
Kim Yong Chol pernah bertugas sebagai anggota Tentara Rakyat Korea di perbatasan atau di zona demiliterisasi pada 1960-an. Ia juga pernah bertugas sebagai pengawal pribadi Kim Jong Il, ayah Kim Jong Un. Lembaga pemantau kepemimpinan Korut yang berafiliasi pada lembaga kajian 38 North melaporkan, Kim Yong Chol dilibatkan dalam peralihan kekuasaan kepada Kim Jong Un.
Pejabat senior Korut itu juga dikenal sulit diajak kerja sama, sarkastik, dan karakternya tak berbeda dengan Kim Jong Un dan Kim Jong Il. Namun, perjalanan Kim Yong Chol tak selamanya mulus. Menurut intelijen Korsel, pada 2015, pangkatnya pernah diturunkan menjadi bintang tiga setelah tertidur di tengah pertemuan.
Kim Yong Chol juga pernah dikirim ke kamp pelatihan pada 2016 karena dianggap berperilaku sombong dan sering dianggap menyalahgunakan kekuasaan. Lulusan Universitas Militer Kim Il Sung itu menjadi dikenal sebagai ahli Korsel karena sering menjelaskan situasi militer dan politik Korsel selama berjam-jam tanpa kenal lelah.
Mantan kolonel militer Korut yang kini sudah pindah ke Korsel, Choi Joo Hwal, kepada situs berita Daily NK di Korsel pada 2016 menceritakan, karier Kim Yong Chol di masa Kim Il Sung sangat cemerlang dan sering naik jabatan. Ia bahkan telah memimpin delegasi militer Korut ketika berunding dengan Korsel, 1989.
Situs 38 North menyebutkan, Kim Yong Chol mulai diperhatikan pejabat dan tokoh pimpinan rezim berkat hasil kerja kerasnya. Ia dihormati karena tidak menggunakan koneksi rezim untuk meraih prestasi.
Peran Kim Yong Chol sebagai perunding dengan Korsel berlanjut pada masa Kim Jong Il. Namun, baru pada 2009 namanya terkenal ketika ia memimpin operasi mata-mata asing.
Kini, lewat upaya rekonsiliasi dengan AS, Kim Yong Chol tak menunjukkan diri sebagai tokoh keras, tetapi sebagai orang yang bisa didekati dan terbuka.
(REUTERS/AFP/AP/LUK)