Hingga masa jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa berakhir pada 31 Desember 2016, Ban Ki Moon tak bisa mewujudkan impian besarnya, yakni mengubah cara pengambilan keputusan di organisasi itu. Dalam berbagai kesempatan, Ban tak menutupi kegelisahannya mengenai hak veto yang dimiliki Inggris, Amerika Serikat, Perancis, Rusia, dan China.
Anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB ini bisa membatalkan rancangan keputusan yang disepakati mayoritas anggota PBB. Keputusan Majelis Umum PBB yang dibuat 188 negara bukan anggota tetap DK PBB akan mentah jika satu dari lima anggota tetap DK PBB menggunakan hak veto. Banyak negara menilai veto adalah bentuk ketidakdemokratisan PBB.
Hak veto mulai dikenal pada era Liga Bangsa-Bangsa yang beroperasi pada 1919-1956. Hak itu dimiliki hingga 15 negara. Kegagalan LBB mencegah perang dunia menyebabkan sejumlah negara membahas organisasi antarbangsa baru, PBB.
Dalam konferensi di Dumbarton Oak, Amerika Serikat, tahun 1944, dan Yalta, Uni Soviet, 1945 disepakati di antara negara-negara yang hampir dipastikan menang Perang Dunia II bahwa Republik China, AS, Inggris, Perancis, dan Uni Soviet harus diberikan hak veto. AS paling gencar menuntut hak itu.
Hak veto mulai dikenal pada era Liga Bangsa-Bangsa yang beroperasi pada 1919-1956.
Dalam laporan Francis O Wilcox, penasihat delegasi AS, tertulis bahwa perwakilan lima negara itu menegaskan hak veto untuk mereka atau sama sekali tak ada piagam PBB. Awalnya, 45 negara yang diundang untuk membahas pembentukan PBB menentangnya. Mereka minta semua anggota PBB diberi hak setara. Rangkaian lobi panjang membuat negara-negara itu menyadari satu hal: LBB gagal mencegah dua perang dunia karena tak semua negara kuat terlibat di organisasi itu.
Pengalaman buruk dua perang dunia membuat perwakilan 45 negara setuju memberi hak veto pada lima negara pemenang perang dunia. Disebut pemenang perang karena AS, Inggris, Perancis, Uni Soviet, dan RC mengalahkan Jerman, Jepang, serta Italia dalam Perang Dunia II. Piagam PBB akhirnya bisa disepakati dan ditandatangani. Dalam piagam yang disepakati pada Oktober 1945 itu diatur enam badan utama PBB. Selain DK dan MU, ada Sekretariat Jenderal, Dewan Perwalian, Dewan Ekonomi dan Sosial, serta Mahkamah Internasional.
Tugas utama DK PBB adalah memelihara perdamaian dan menyelesaikan konflik. DK PBB diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi ekonomi dan politik hingga menyetujui penempatan pasukan internasional di wilayah konflik.
Bahkan, DK PBB diberi kewenangan menyetujui blokade bila dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik. DK PBB dapat pula mengirimkan utusan atau juru damai ke wilayah konflik.
Perubahan
Terjadi dua perubahan dalam susunan anggota tetap DK PBB. Perubahan pertama adalah dampak perang saudara di China. Kubu nasionalis kalah dari kubu komunis dan lari ke Taiwan. Adapun daratan China dikuasai kubu komunis yang mengumumkan perubahan nama negara dari Republik China menjadi Republik Rakyat China (RRC). Namun, saat itu, Taiwan sementara masih diakui sebagai anggota PBB.
Keanggotaan Taiwan berakhir setelah MU PBB mengeluarkan resolusi nomor 2758 pada 1971. Sejak itu, RRC menjadi anggota PBB dan anggota tetap DK PBB sejak 1971.
Indonesia sudah tiga kali menjadi anggota tidak tetap DK PBB.
Perubahan kedua terjadi setelah Uni Soviet bubar pada 1991. Rusia mengklaim hak keanggotaan DK PBB dan anggota PBB menerima klaim itu.
Sementara untuk 10 anggota tidak tetap, terjadi perubahan secara periodik. Setiap anggota tidak tetap DK PBB mendapat masa tugas dua tahun. Setiap tahunnya, dipilih lima anggota.
Indonesia sudah tiga kali menjadi anggota tidak tetap DK PBB. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia menjadi anggota tidak tetap DK PBB pada 1974-1975 dan 1995-1996.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia menjadi anggota tidak tetap DK PBB periode 2007-2008. Kini, Indonesia kembali mengincar kursi itu untuk periode 2019-2020.