Saat ini, Indonesia menjadi kandidat anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk periode 2019-2020. Tema yang diusung Indonesia dalam persiapannya untuk menjadi anggota tidak tetap DK PBB adalah ”True Partner for World Peace”.
Program prioritas Indonesia adalah menciptakan ekosistem perdamaian dan stabilitas global, memastikan sinergi di antara agenda perdamaian dan pembangunan berkelanjutan, serta menangani terorisme, radikalisme, dan ekstremisme.
Dalam diskusi di The Habibie Center, pekan lalu, terungkap bahwa Indonesia juga berkomitmen untuk menjunjung tinggi prinsip dan tujuan piagam PBB serta menjalankan peran ”pembangun jembatan” di antara negara-negara anggota PBB.
Indonesia memiliki modalitas untuk melandasi program prioritas dan komitmen tersebut. Menurut Teuku Rezasyah, dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung, meskipun telah mengantongi lebih dari 100 suara, Indonesia tetap harus menggenjot perolehan suara.
Intensif
Direktur Eksekutif ASEAN Institute for Peace and Reconciliation Rezlan Ishar Jenie yang pernah menjadi Perwakilan Tetap Indonesia untuk PBB 2004-2007 mengatakan, Indonesia perlu membuktikan pantas dan patut untuk dipilih.
”Di PBB, kita aktif dalam berbagai aktivitas. Kita aktif menjadi ketua atau wakil ketua dalam komite-komite Majelis Umum PBB. Kita aktif menyelenggarakan pertemuan-pertemuan internasional,” kata Rezlan saat dihubungi Kompas, Jumat (1/6/2018).
Pada periode 2007-2008, Indonesia pernah menjadi anggota tidak tetap DK PBB dengan mengantongi 158 suara. Untuk dukungan itu, Indonesia melakukan pendekatan bilateral dengan mengirim utusan-utusan khusus Presiden RI ke sejumlah negara dan organisasi regional, seperti Uni Afrika dan Uni Eropa, untuk menyampaikan maksud Indonesia duduk di DK PBB.
”Kita melakukan pendekatan di New York dengan mendekati perwakilan negara-negara di PBB serta mendatangi ibu kota negara-negara tersebut. Duta besar Indonesia di banyak negara juga datang ke kementerian luar negeri negara tersebut. Pemerintah pusat pun berkunjung ke negara-negara anggota PBB lainnya yang belum memberi jawaban pasti,” kata Rezlan.
Menurut dia, utusan-utusan khusus itu berkunjung ke Afrika, Karibia, dan Amerika Selatan. ”Begitu pula Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Sekarang ini, Menlu Retno Marsudi di Majelis Umum PBB juga mendekati menlu-menlu yang lain,” kata Rezlan. Upaya itu didukung prestasi Indonesia di kancah internasional, yaitu dengan mendorong isu-isu yang menunjukkan Indonesia aktif di dunia internasional, salah satunya memfasilitasi perundingan-perundingan resolusi.
Misi
Menurut Rezlan, isu-isu pokok di DK PBB pada 2007 antara lain isu-isu tradisional, seperti Palestina, masalah Iran, dan Myanmar. Hingga saat ini pun masalah yang membelit negara-negara itu belum terselesaikan dan memerlukan perhatian dari PBB.
Saat Indonesia menjadi anggota tidak tetap DK PBB 2007-2008, tantangan yang dihadapi Indonesia, ujarnya, adalah dalam konteks menentukan sikap untuk resolusi-resolusi.
”Kita perlu menjalin kontak terus-menerus antara perwakilan Indonesia di PBB dan pemerintah pusat. Tiap hari dibahas isu-isu tertentu dan kita perlu menyampaikan sikap. Jadi, kontak antara perwakilan dan Jakarta harus terus dilakukan. Tantangan lumayan besar karena ada kendala perbedaan waktu, seperti dubes harus bicara dengan Menlu Hassan Wirajuda pada malam hari di Jakarta. Saya sempat telepon karena perlu petunjuk tentang Myanmar saat itu,” tuturnya.