Laga yang Tidak Mudah Dimenangi
Dalam sesi debat umum Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, akhir September 2016, Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan resmi mengumumkan pencalonan Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Selain karena amanat konstitusi, niat itu juga didorong oleh keinginan Indonesia untuk mengambil peran lebih besar dalam upaya menjaga stabilitas kawasan dan keamanan dunia.
”Kenapa Indonesia ingin jadi anggota tidak tetap DK PBB? Itu karena perintah UUD 1945 yang mengatakan, Indonesia harus berjuang keras menjaga perdamaian dunia. Oleh karena itu, Indonesia ingin menjadi mitra sejati perdamaian,” tutur Kalla (Kompas, 26 September 2016).
Jika nantinya terpilih, ini adalah keempat kali Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Sebelumnya, Indonesia pernah menjadi anggota lembaga itu pada periode 1973-1974, 1994-1995, serta periode tahun 2007-2008. Proses pemilihan untuk periode tahun 2019-2020 akan digelar pada 9 Juni mendatang.
Sebagai catatan, selain lima anggota tetap, yaitu Amerika
Serikat, Inggris, Perancis, China, dan Rusia, Dewan Keamanan PBB juga memiliki 10 anggota tidak tetap. Untuk memastikan perwakilan geografis dalam lembaga prestisius itu, kesepuluh kursi anggota tidak tetap dibagi masing-masing lima untuk negara-negara Afrika dan Asia, satu untuk negara Eropa Timur, dua untuk negara Amerika Latin dan Karibia, serta dua untuk Eropa Barat dan lainnya.
Kali ini, kursi untuk wakil Asia-Pasifik diperebutkan oleh Indonesia dan Maladewa. Sesuai ketentuan, Indonesia setidaknya memerlukan dukungan lebih dari dua pertiga dari 193 negara anggota PBB.
Modal sosial
Di atas kertas, Indonesia tentu jauh lebih unggul dari Maladewa. Indonesia memiliki cukup modal untuk maju dan mengampanyekan diri. Modal itu antara lain keterlibatan Indonesia secara aktif dan konsisten dalam misi-misi perdamaian PBB. Sejak tahun 1950-an, Indonesia terus mengirim personel militer dan polisi untuk menjadi anggota pasukan perdamaian PBB.
Selain itu, tidak hanya di kawasan, Indonesia aktif mendorong dan mengupayakan perdamaian. Langkah-langkah diplomatik Indonesia secara intensif terkait isu Rohingya tidak terbantahkan. Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi adalah menlu pertama yang diterima oleh Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi dan para petinggi militer negeri itu untuk membicarakan isu Rohingya.
Pencapaian itu bukan pencapaian sembarangan, karena ketika isu Rohingya merebak dan menjadi perhatian dunia, banyak negara dan lembaga dunia yang ingin masuk ditolak oleh Myanmar. Cara pendekatan yang inklusif, tidak menggurui dan mendikte, menjadikan Indonesia sebagai sosok yang dapat dipercaya.
Pencapaian serupa sedikit atau banyak juga terlihat saat Indonesia berhasil menggelar pertemuan para ulama Afghanistan, Pakistan, dan Indonesia di Bogor. Perhelatan itu menjadi salah satu batu penjuru bagi pembangunan perdamaian Afghanistan.
Konsistensi Indonesia untuk terus mendukung kemerdekaan Palestina—meskipun mau tidak mau bersemuka dengan kekuatan dunia, Amerika Serikat salah satunya—menempatkan Indonesia sebagai sosok yang kokoh.
Kondisi tersebut diperkuat dengan upaya Indonesia untuk terus mengembangkan demokratisasi, penghormatan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Dalam sejumlah kesempatan, dengan bangga Menlu Retno mengatakan, ”Di Indonesia, Islam, demokrasi, dan modernitas dan penguatan perempuan dapat berjalan beriringan dalam satu harmoni.”
Toleransi, sikap inklusif, dan pluralisme menjadi nilai yang selalu diproyeksikan Indonesia dalam berhubungan dengan negara lain.
Meskipun masih ada banyak tantangan, fakta hari ini, soliditas nasional dan upaya keras untuk bersetia pada prinsip-prinsip dasar bernegara, yaitu Pancasila, telah menghindarkan Indonesia dari perpecahan sebagaimana terjadi di Suriah. Pencapaian itu tentu menjadi nilai yang sangat layak diperhitungkan.
Selain itu, upaya Indonesia meraih target-target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang merupakan pedoman bersama untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan, memberi nilai lebih pada pencalonan Indonesia.
Dukungan
Tidak mengherankan, setelah setahun resmi diumumkan, Indonesia mendapat banyak dukungan. Di sela-sela Sidang Umum Ke-72 PBB, September 2017, Menteri Luar Negeri Yunani Nikos Kotzias hadir dalam resepsi untuk menggalang dukungan atas pencalonan Indonesia.
”Ini adalah acara resepsi satu-satunya yang saya hadiri dalam pekan ini. Indonesia adalah negara besar, negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia,” kata Kotzias (Kompas, 24 September 2017).
Sebelumnya, dukungan juga disampaikan oleh Presiden Komoro, Presiden Palau, Presiden Afrika Selatan, dan pemimpin delegasi Bahrain. Dukungan itu disampaikan secara lisan saat para pemimpin tersebut bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam forum bilateral. Hingga saat ini, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir mengatakan, Indonesia yakin atas dukungan yang terhimpun. ”Kita percaya diri,” kata Arrmanatha.
Konsolidasi
Namun, modal sosial serta dukungan yang telah terhimpun tetap harus dikonsolidasikan lagi saat proses pemilihan, akhir pekan depan. Arrmanatha mengatakan, Indonesia harus memastikan bahwa wakil dari setiap negara hadir dalam proses pemilihan.
Sejumlah diplomat menyampaikan, setidaknya Indonesia harus memperoleh dukungan lebih dari 129 negara. Jika syarat itu tidak terpenuhi, proses pemilihan masuk pada putaran kedua. Situasinya menjadi lebih cair dan proses lobi harus dimulai lagi.
Tentu Indonesia tidak ingin menjadi seperti Israel, yang awal bulan ini mengundurkan diri dari pencalonan. Langkah itu memuluskan Belgia dan Jerman untuk duduk di kursi keanggotaan tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020. Kepada Reuters, sumber-sumber dari kalangan diplomat AS mengatakan, Israel mundur karena peluang mereka untuk menang kecil.
Sejatinya Israel mengantongi dukungan AS. Bahkan, Washington pun turut membangun lobi untuk Israel.
Richard Grenell, yang dilantik menjadi Duta Besar AS untuk Jerman, mengatakan, AS pernah membuat kesepakatan dengan Eropa untuk memungkinkan Israel duduk di kursi keanggotaan. Namun, sejumlah diplomat Jerman membantah adanya perjanjian itu.
Oleh karena itu, sekali lagi, meskipun di atas kertas modal dan dukungan kepada Indonesia besar, pemerintah perlu terus menjalin komunikasi dengan negara mitra. Di dalam negeri, stabilitas dan keamanan serta upaya-upaya konkret mengimplementasikan program-program SDGs menjadi bagian dari upaya itu. Mengomunikasikan sejumlah pencapaian pembangunan dan demokrasi menjadi penting.
(REUTERS)