Meski opini di Libya memandang pesimistis keberhasilan kesepakatan Paris pada Selasa (29/5/2018) lalu, kesepakatan itu tetap sebuah langkah yang memberikan secercah harapan bagi upaya mewujudkan perdamaian di Libya.
Konferensi internasional tentang Libya di Paris yang digagas Presiden Perancis Emmanuel Macron memiliki legitimasi politik kuat karena dihadiri empat kekuatan utama. Mereka adalah Kepala Pemerintah Kesepakatan Nasional (Government of National Accord) yang diakui internasional, Fayez al-Sarraj; Ketua Dewan Tinggi Negara (High State Council) Khaled al-Mishri; Panglima Militer Jenderal Khalifa Haftar; dan ketua parlemen hasil pemilu 2014, Aqila Salah, yang bermarkas di Tobruk, Libya timur.
Konferensi Paris berhasil mengeluarkan deklarasi yang berisi delapan kesepakatan tentang peta jalan damai Libya. Di antara butir-butir kesepakatan, hal yang terpenting adalah kesepakatan pertama, yakni menggelar pemilu presiden dan parlemen pada 10 Desember mendatang.
Kedua, sepakat menyusun basis konstitusional selambat-lambatnya pada 16 September mendatang bagi penyusunan undang-undang pemilu dan konstitusi baru.
Ketiga, semua pihak berkomitmen menghormati hasil pemilu sehingga tidak terulang kasus pemilu 2014 yang hasilnya tidak dihormati sebagian kekuatan politik di Libya.
Menyusun basis konstitusional selambat-lambatnya pada 16 September mendatang bagi penyusunan undang-undang pemilu dan konstitusi baru.
Keempat, masyarakat internasional akan memberi sanksi berat terhadap pihak yang menghambat penyelenggaraan pemilu atau tidak menghormati hasil pemilu.
Kompromi
Kompromi aspirasi Tripoli dan Tobruk terdapat pada butir kedua. Tripoli ingin penyusunan konstitusi negara dilakukan terlebih dahulu. Setelah itu, digelar referendum atas konstitusi baru dan pemilu. Adapun aspirasi Tobruk adalah pemilu terlebih dahulu, kemudian dilakukan penyusunan konstitusi baru.
Deklarasi Paris menyetujui penyusunan basis konstitusional selambat-lambatnya selesai dilakukan pada 16 September. Hal ini akan menjadi peta jalan bagi penyusunan undangundang pemilu dan konstitusi negara.
Saat ini tinggal menunggu komitmen keempat tokoh utama Libya atas deklarasi Paris. Selain itu, diperlukan andil negara-negara besar dan tetangga—Amerika serikat, Perancis, Inggris, Italia, Mesir, Tunisia, dan Aljazair—untuk menekan keempat tokoh agar mau melaksanakan deklarasi Paris.
Gagal
Deklarasi ini bisa disebut sebagai kesempatan terakhir Libya. Sebelumnya, kesepakatan Skhirat, Maroko, yang digagas PBB pada Desember 2015 gagal.
Kesepakatan Skhirat juga menegaskan penyelenggaraan pemilu setelah dua tahun dari penandatanganan kesepakatan itu, yakni pada akhir 2017. Namun, setelah dua tahun berlalu dari kesepakatan Skhirat, tidak ada penyelenggaraan pemilu. Karena itu, harapan saat ini adalah hasil konferensi Paris tidak bernasib buruk seperti konferensi Skhirat.
Konferensi Skhirat dan Paris sama-sama mencari kompromi di antara kekuatan-kekuatan politik yang bertikai setelah kegagalan pemilu 2012 dan 2014. Pemilu Juli 2012 yang mengantarkan kekuatan politik kelompok Islam meraih kursi cukup besar, yakni 80 dari 200 kursi parlemen, gagal menciptakan stabilitas. Lembaga legislatif hasil pemilu 2012—Kongres Nasional Umum (GNC)—hanya diberi mandat masa jabatan dua tahun.
Pada pemilu parlemen Juni 2014, kelompok Islam mengalami kekalahan, yakni hanya meraih 30 dari 200 kursi. Parlemen hasil pemilu 2014 terpaksa pindah dari Tripoli ke Tobruk karena tidak ada keamanan di ibu kota Libya itu. Adapun di Tobruk, Libya timur, parlemen hasil pemilu 2014 mendapat jaminan keamanan dari Jenderal Khalifa Haftar yang mengontrol kota.
Di Tobruk, Libya timur, parlemen hasil pemilu 2014 mendapat jaminan keamanan dari Jenderal Khalifa Haftar yang mengontrol kota.
GNC menganggap ilegal parlemen hasil pemilu 2014 yang berkantor di Tobruk karena parlemen dinilai harus berkantor di ibu kota. GNC akhirnya mengumumkan perpanjangan masa jabatan dan menganggap diri mereka sebagai parlemen yang sah. Maka, terjadi dwi-kekuasaan di Libya, yakni Tripoli dan Tobruk.
Konferensi Skhirat pada Desember 2015 yang dihadiri wakil Tripoli dan Tobruk dengan dukungan PBB berupaya menyatukan pemerintah Tripoli dan Tobruk. Konferensi Skhirat berhasil membentuk Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang dipimpin Fayez al-Sarraj. Namun, GNA malah ditolak Tripoli serta Tobruk. Maka, kini ada tiga kekuasaan di Libya, yaitu GNC dan GNA di Tripoli serta pemerintah Tobruk.
Pada 1 April 2016, GNC mengumumkan pembubaran diri dan diganti dengan Dewan Tinggi Negara (High State Council/HSC) sesuai dengan rekomendasi konferensi Skhirat. HSC kini berkoalisi dengan GNA dalam menghadapi pemerintah Tobruk dan Panglima Militer Khalifa Haftar. Konferensi Paris kini kembali berusaha menyatukan GNA dan HSC dengan pemerintah Tobruk.