Jalan Masih Buntu Setelah Setahun Krisis Teluk
Hari ini, Selasa (5/6/2018), genap setahun usia aksi blokade total kuartet Arab, yakni Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain serta Mesir, terhadap Qatar.
Pada 5 Juni 2017, kuartet Arab tersebut secara kolektif memberlakukan blokade total terhadap Qatar. Blokade itu dilandasi sejumlah tuduhan, dan tuduhan itu tidak main-main. Oleh keempat negara itu, Qatar dituduh mendukung dan menjadi penyandang dana kelompok-kelompok teroris di mancanegara.
Tentu, Qatar menolak keras tuduhan tersebut, bahkan mencoba menyerang balik. Media-media Qatar menuduh Arab Saudi mendukung dan mendanai kelompok-kelompok teroris.
Aksi blokade itu pun disebut sebagai sejarah hitam bagi dunia Arab. Aksi itu juga dinyatakan terburuk sejak berdirinya Liga Arab tahun 1945 dan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) tahun 1981.
Tuntutan
Meski sudah berjalan satu tahun, belum ada solusi mengakhiri blokade yang kemudian dikenal dengan krisis Teluk itu. Upaya mediasi regional maupun internasional, seperti dilakukan Kuwait, Turki, Oman, Jerman, Perancis, hingga Amerika Serikat, gagal merajut rekonsiliasi antara kuartet Arab dan Qatar.
Pihak yang bertikai di Teluk tersebut masih belum siap menerima solusi kompromi. Kuartet Arab masih bersikeras agar Qatar menerima sepenuhnya 13 tuntutan kuartet Arab yang disampaikan pada akhir Juni 2017. Adapun Qatar menolak keras sebagian dari 13 butir itu dan bersedia berunding pada sebagian yang lain.
Di antara 13 tuntutan tersebut adalah Qatar harus menutup pangkalan militer Turki di negara itu. Lalu, Qatar dituntut menutup stasiun televisi Al Jazeera, menurunkan tingkat hubungan dengan Iran, dan menghentikan suplai dana ke jaringan teroris, baik perorangan maupun lembaga.
Krisis Teluk itu pun kini mengalami jalan buntu. Qatar dan kuartet Arab sudah hilang kepercayaan satu sama lain.
Qatar sebagai negara kecil dengan penduduk hanya sekitar 2,3 juta jiwa sudah pasrah menempuh jalan baru dengan segala risikonya. Qatar pun tidak berhubungan lagi dalam bentuk apa pun dengan negara Arab tetangganya, yakni Arab Saudi, Bahrain, dan UEA.
Peran Iran
Peta koalisi di kawasan Teluk pun berubah total. GCC secara de facto sudah ambruk dan hanya meninggalkan catatan sejarah. Qatar pun terpaksa berkoalisi dengan Iran yang notabene merupakan musuh bebuyutan Arab Saudi, UEA, dan Bahrain di kawasan Teluk.
Koalisi baru Qatar-Iran berhasil memberi kembali ruang bagi Doha untuk menghirup napas. Berbeda dari Arab Saudi, Teheran membuka seluas-luasnya akses udara dan laut bagi moda transportasi milik Qatar serta arus berbagai komoditas dari dan ke Qatar. Akses udara dan laut Iran menjadi pengganti akses udara, darat, dan laut Arab Saudi, UEA, serta Bahrain yang tertutup sama sekali untuk Qatar.
Bahkan, berkat terbukanya akses udara dan laut Iran bagi Qatar itu, blokade ketat yang dibangun kuartet Arab tersebut tidak membawa dampak banyak terhadap Doha. Qatar pun tetap menyatakan siap menjadi tuan rumah Piala Dunia tahun 2022.
Hubungan regional dan internasional Qatar tetap tidak terganggu pula setelah blokade itu. Hubungan Qatar dengan AS dan Eropa tetap terjalin kuat.
AS tetap mempertahankan pangkalan udara Al-Udeid di Qatar yang merupakan pangkalan udara AS terbesar di Timur Tengah setelah pangkalan udara AS di Incirlik, Turki. Selain AS, Turki juga membangun pangkalan militer di Qatar.
Percaya diri
Yang menarik, di tengah upaya Arab Saudi dan mitranya menekan Qatar, Doha justru menjadi lebih percaya diri. Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamd al-Thani menegaskan, negaranya setelah diblokade justru lebih kuat daripada sebelum diblokade.
Qatar tengah berupaya memperkuat pertahanan militer mereka. Secara mengejutkan, Doha tengah bernegosiasi dengan Rusia untuk menyuplai sistem pertahanan udara canggih, S-400.
Arab Saudi pun langsung geram mendengar Qatar akan mendapat S-400 dari Rusia. Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman mengancam akan menempuh opsi militer terhadap Qatar jika negara itu mendapat sistem pertahanan udara S-400.
Pangeran Mohammed meminta bantuan Presiden Perancis Emmanuel Macron untuk membujuk Rusia membatalkan rencana penjualan S-400 ke Qatar. Hubungan Qatar dan Arab Saudi kini semakin runyam lantaran isu S-400 tersebut.
Tak hanya itu, dalam bidang energi, Qatar Petroleum—badan usaha energi milik Qatar—Minggu (3/6) menandatangani perjanjian pembelian 30 persen saham hidorkarbon ExxonMobil di Argentina. Kesepakatan yang terjadi tepat setahun krisis diplomatik Qatar-Saudi itu dilakukan di sebuah hotel bintang lima di Doha.
”Kami senang mencapai kesepakatan dengan Exxon, mitra strategis yang memiliki sejarah panjang,” kata Saad Sherida al-Kaabi, Presiden dan CEO Qatar Petroleum.
Andrew Swiger, Wakil Presiden Senior Exxon, mengatakan, kesepakatan tersebut ”menggarisbawahi” komitmen perusahaannya untuk mengembangkan sumber daya Argentina. Tidak disebutkan berapa nilai perjanjian itu.
Sebagaimana telah disebutkan, situasi itu menunjukkan krisis Teluk belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Qatar tampaknya tidak terpengaruh oleh tekanan kuartet Arab. (AFP/JOS)