KUALA LUMPUR, RABU Skandal korupsi yang melilit lembaga investasi Pemerintah Malaysia, 1MBD, melebar ke bank sentral negara itu. Gubernur bank sentral Malaysia, Muhammad Ibrahim, mengundurkan diri karena diduga terkait skandal yang melibatkan uang miliaran dollar AS tersebut.
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengumumkan sudah menerima pengunduran diri Muhammad. ”Kami belum memutuskan penggantinya karena memerlukan persetujuan Yang Agong (kepala negara Malaysia Yang Dipertuan Agung XV, Sultan Muhammad V) sebelum kami mengumumkan,” ujarnya, Rabu (6/6/2018), di Putra Jaya, Malaysia.
Muhammad baru bekerja dua tahun dari total masa jabatan lima tahun. Ia menggantikan Zeti Akhtar Aziz yang memimpin bank sentral selama 16 tahun sebelum mundur pada 2016. Zeti disebut mundur karena tidak nyaman dengan isu korupsi yang semakin menguat di pemerintahan Najib Razak.
Sejumlah pihak menyebut, Muhammad didesak mengundurkan diri setelah ada pengungkapan kaitan bank sentral dengan skandal 1MDB. Pada Mei 2018, Menteri Keuangan Malaysia Lim Guan Eng menyatakan, dana hasil penjualan lahan milik pemerintah ke bank sentral dipakai untuk menalangi utang 1MDB pada 2017. Transaksi itu terjadi pada masa Najib Razak masih menjadi Perdana Menteri Malaysia dan Muhammad memasuki tahun kedua masa jabatannya di Bank Negara Malaysia.
Hasil transaksi 500 juta dollar AS atau hampir Rp 7 triliun itu dipakai untuk membayar utang 1MDB kepada lembaga investasi Abu Dhabi, IPIC. Jumlah utang perusahaan 1MBD kepada IPIC ialah 1,2 miliar dollar AS. Tidak ada penjelasan mengapa 1MDB memiliki utang sebesar itu kepada IPIC.
Muhammad menyatakan, transaksi dilakukan sesuai ketentuan pemerintah. Dalam maklumat kepada karyawan bank sentral, ia membantah persepsi bahwa transaksi itu sengaja dilakukan untuk membantu pendanaan secara tidak sah.
”Saya siap untuk melepaskan jabatan jika saya tidak lagi memiliki kepercayaan dan dukungan yang kuat dari masyarakat,” tulisnya dalam catatan yang bocor kepada awam itu.
”Saya tidak nyaman jika hal itu memengaruhi citra dan reputasi bank,” lanjut bankir lulusan Harvard dan bekerja di bank sentral sejak 1984 tersebut.
Dalam kesempatan terpisah, Jaksa Agung Malaysia Tommy Thomas memastikan, perburuan pihak-pihak yang terlibat korupsi 1MDB adalah prioritas utamanya. ”Prioritas utama dan mendesak pemerintah ialah segala hal terkait 1MBD. Saya sudah mempelajari berkas skandal itu. Kami akan segera membawa kasus ini secara pidana dan perdata ke pengadilan,” tuturnya.
Transaksi lahan itu bukan satu-satunya jejak masalah 1MDB di bidang properti. Pada Mei 2018, Kementerian Keuangan Malaysia mengumumkan, 1MDB berutang 3 miliar dollar AS untuk proyek Exchange 106. Akan tetapi, hasil utang itu tidak digunakan sebagaimana mestinya.
Proyek di dekat Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur itu belum selesai dan masih membutuhkan banyak biaya. Jika selesai, gedung yang juga dikenal sebagai Menara Najib itu akan melebihi menara kembar Petronas yang dibangun di masa pemerintahan Mahathir pada dekade 1990-an.
”Gambaran sebenarnya tidak diungkapkan. Lebih baik bangunan itu diselesaikan daripada dibiarkan terbengkalai,” ujar Lim. Ia tidak bisa mengungkap berapa banyak uang pemerintah yang sudah dihabiskan untuk proyek itu.
Kepemilikan atas proyek itu pernah dijual ke sebuah grup Indonesia. Belakangan, Pemerintah Malaysia membeli kembali 51 persen saham itu. Nilai pembelian kembali tidak disebutkan.
Skandal pipa
Skandal terkait 1MDB bukan satu-satunya yang ditelisik pemerintahan Mahathir. Pada Selasa lalu, Kemenkeu Malaysia mengeluarkan siaran pers terkait dua proyek pipa minyak dan gas bumi di Kedah serta Sabah.
Proyek di Kedah berupa pembangunan jaringan pipa 600 kilometer untuk keperluan distribusi minyak dari Melaka dan Port Dickson menuju Jitra, Kedah. Adapun proyek di Sabah bertujuan menyediakan pipa distribusi terminal gas Kimanis ke Sandakan serta Tawau sepanjang 662 kilometer.
Seluruh proyek bernilai 9,41 miliar ringgit atau hampir Rp 3.300 triliun itu dikelola Suria Strategic Energy Resource (SSER), perusahaan yang dimiliki Kemenkeu Malaysia. Sekretaris Jenderal Kemenkeu Malaysia Irwan Serigar Abdullah mewakili SERR menandatangani kontrak pengerjaan dua proyek itu kepada China Petroleum Pipeline Bureau (CPPB) pada 1 November 2016.
Pada Maret 2018, proyek di Sabah hanya rampung 11,4 persen dan proyek di Kedah hanya selesai 14,5 persen. Akan tetapi, Malaysia membayar 8,25 miliar ringgit atau setara 87,7 persen dari keseluruhan nilai proyek. Kemenkeu Malaysia akan melaporkan hal ini kepada komisi pemberantasan korupsi Malaysia. (AFP/REUTERS/RAZ)