Mengurai Benang Kusut AS dan Korut
Setahun lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un hampir setiap hari terlibat drama perang mulut dengan saling mengancam melempar rudal. Kini, keduanya akan bertemu di Pulau Sentosa, Singapura, Selasa (12/6/2018), untuk merundingkan perlucutan nuklir di Semenanjung Korea dan mengakhiri Perang Korea (1950-1953) dengan perjanjian perdamaian.
Mengingat dinamika hubungan Korut dan AS selama beberapa bulan terakhir, khususnya sikap Trump dan Jong Un yang serba tidak pasti, tidak ada yang bisa memastikan apakah pertemuan tingkat tinggi yang bersejarah ini akan terlaksana.
Proses perundingan pasti akan alot. Persoalan AS-Korut tidak akan selesai dalam satu kali pertemuan, terutama terkait perlucutan nuklir Korut. Meski demikian, dengan pertemuan ini, setidaknya kedua pihak sama-sama merasa yakin akan dapat menyepakati menutup babak Perang Korea dengan janji damai.
Namun, khusus untuk isu perlucutan nuklir, AS dan Korut berbeda pandangan. Di satu sisi, AS menuntut Korut menghentikan produksi sekaligus membuang semua simpanan rudal dan nuklirnya. Ini juga harus diverifikasi dulu. Di sisi lain, Korut tidak mau menyerahkan semua begitu saja mengingat banyaknya investasi Korut untuk rudal dan nuklir selama bertahun-tahun.
Mantan Utusan Khusus AS untuk Korut Joseph Yun menilai, jika pertemuan di Singapura itu nanti dianggap berhasil, kedua belah pihak harus segera membuat konsesi untuk membangun kepercayaan sebelum melanjutkan proses panjang menuju perlucutan. ”Hasil minimal dari pertemuan itu mungkin berupa kesanggupan Jong Un memformalisasikan penghentian uji rudal dan nuklirnya,” kata Yun.
Namun, sebelum mencapai kesepakatan apa pun, AS dan Korut akan sama-sama mengajukan persyaratan. Mantan Penasihat Kementerian Pertahanan AS untuk Isu Korut Frank Aum menduga, Pyongyang mendefinisikan perlucutan nuklir dengan tidak hanya menyerahkan rudal dan nuklirnya sendiri, tetapi juga melarang aset strategis AS, seperti pesawat tempur F-22, pesawat pengebom B1, dan kapal-kapal induk, masuk ke Semenanjung Korea. Jong Un butuh jaminan keamanan tidak akan diserang.
Sebagai imbal baliknya, Jong Un harus membuat perjanjian tertulis untuk menghentikan uji rudal dan nuklir serta mengizinkan tim inspeksi nuklir internasional datang ke fasilitas-fasilitas pengembangan rudal dan nuklir Korut agar bisa memperhitungkan skala perlucutan yang harus dilakukan.
Hanya dengan cara itu, AS akan bisa menentukan keseriusan Jong Un melucuti persenjataan. Proses perlucutan ini tidak mudah. Siegfried Hecker dari Stanford University yang pernah memimpin laboratorium atom AS di Los Alamos memperkirakan, perlucutan nuklir akan memakan waktu minimal 15 tahun.
Menurut militer Korsel, selain memiliki simpanan nuklir, Korut diperkirakan punya simpanan senjata kimia 2.500-5.000 ton yang sudah dikembangkan sejak 1980-an. Simpanan plutonium Korut juga diperkirakan lebih dari 50 kilogram. Jumlah ini cukup untuk membuat 10 senjata.
”Bagi pemerintahan Trump, esensi perundingan itu kemungkinan adalah mengurangi jumlah rudal antarbenua dan hulu ledak nuklir,” kata Hong Min, analis di Institut Korea untuk Unifikasi Nasional, Korsel.
Pengawas nuklir internasional, seperti Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) atau lembaga-lembaga internasional lain, akan bisa memberikan jaminan soal kepastian jumlah simpanan senjata Korut. Jika Jong Un bersedia membukakan pintunya untuk tim inspeksi, hal ini akan menjadi perkembangan terbaru karena masalah itulah yang menyebabkan perundingan-perundingan AS-Korut sebelumnya gagal.
Robert Gallucci, yang pernah memimpin perundingan dengan Korut di era pemerintahan Presiden AS Bill Clinton, kepada harian The Guardian mengingatkan, deklarasi perlucutan nuklir yang rinci menjadi titik keberhasilan atau kegagalan Trump di Singapura. Kalau Trump bisa membawa pulang deklarasi yang rinci, pertemuan itu sudah bisa dianggap berhasil. ”Kalau Trump bisa menyelesaikan semua persoalannya dengan Korut, tetapi tidak berhasil mendapat deklarasi yang rinci itu, berarti ia gagal,” ujarnya.
Untuk membujuk Jong Un, Trump menawarkan jaminan perlindungan keamanan atau janji tidak akan menyerang dan janji memulai pembahasan pakta damai perang Korea. Selain kedua janji itu, Trump juga bisa saja membuka kantor perwakilan di Korut—dan begitu sebaliknya—sebagai langkah awal pengakuan. AS bisa juga membatasi atau bahkan meniadakan latihan militer rutin dengan Korsel yang dianggap Korut sebagai tindakan provokatif.
Terlepas dari jadi atau tidak jadi, berhasil atau tidak berhasil pertemuan itu, Jong Un tetap untung. Ia setidaknya berhasil mendapatkan dukungan dari negara tetangga, seperti Korsel, China, dan Rusia.
Dukungan tetangga
Harian The Financial Times, 7 Juni 2018, menyebutkan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan mengundang Kim Jong Un datang ke Vladivostok, September mendatang. Bagi negara-negara tetangga Korut, kesepakatan antara Korut dan AS berpotensi mengubah lanskap geopolitik kawasan sehingga mereka merasa harus memastikan kepentingan mereka tidak terabaikan.
Bagi Jong Un, menjadi sorotan komunitas internasional memberinya kesempatan untuk memperjuangkan kepentingan Korut dan mencegah AS mengisolasi Korut.
”Kalau jadi perlucutan nuklir di Semenanjung Korea, struktur perang dingin akan berubah dan tatanan Asia timur dan utara akan berubah. Negara-negara tetangga Korut merasa harus membicarakan ini dengan Kim,” kata Cho Sung-ryul, peneliti senior di Institut Strategi Keamanan Nasional, Seoul, Korsel.
Rusia dan China sama-sama memosisikan diri seperti kakak bagi Korut. Bahkan, Presiden China Xi Jinping menawarkan bantuan jika misalnya pertemuan di Singapura gagal. Banyak pihak khawatir pertemuan itu akan gagal karena masih ada perbedaan antara Korut dan AS tentang konsep dan cara perlucutan nuklir. Sikap pemerintahan Trump juga sudah kokoh bahwa selama Korut tidak berubah sikap atau menunjukkan bukti komitmennya, AS akan tetap keras dan menekan Korut.
Guru besar hubungan internasional di Handong Global University, Korsel, Park Won-gon, menilai, Korut akan lebih mudah mendapatkan keringanan sanksi dari China dan Rusia daripada AS. Saat ini saja, China sebenarnya sudah mulai kembali berdagang dengan Korut.
”China dan Rusia mungkin tidak akan mengumumkan secara resmi akan mencabut sanksi, tetapi mereka bisa melonggarkan sedikit implementasi sanksinya,” kata Park.
Keberhasilan mendapatkan dukungan negara tetangga membuktikan, Jong Un lihai bermanuver di kawasan regional meski dalam kondisi tertekan. Bagi seseorang yang terisolasi selama enam tahun, tidak pernah ke luar negeri atau bertemu dengan pemimpin negara lain, sepak terjang diplomasi Jong Un beberapa bulan terakhir diakui gesit.
Kalaupun pertemuan di Singapura nanti tidak menghasilkan apa-apa, Go Myong-hyun, analis di Institut Studi Kebijakan Asan, menilai bahwa Jong Un tidak akan langsung kembali menguji rudal dan nuklir, tetapi akan melanjutkan gaya diplomasinya seperti sekarang.
”Kalau pertemuan di Singapura gagal, Korsel dan China akan tetap secara diplomatis membantu Korut,” ujarnya.