Tengah hari, 11 September 1973, setelah berbulan-bulan jalan-jalan di Santiago, Chile, selalu menjadi arena demonstrasi besar-besaran, jet-jet tempur Hawker-Hunter bikinan Inggris membombardir La Moneda, istana presiden bergaya neoklasik di pusat kota Santiago. Dan, La Moneda pun terbakar. Presiden Salvador Allende, yang dipilih lewat pemilu demokratis tiga tahun sebelumnya, berusaha terus bertahan di dalam istana, dengan penjagaan superketat.
Selama masa pemerintahannya, Chile dilanda krisis ekonomi, pemogokan, demonstrasi-demonstrasi, dan kelumpuhan politik. Namun, Allende secara tegas mengatakan, ia tidak akan turun dari jabatannya sampai menyelesaikan tugasnya. Akan tetapi, pada 11 September itu, moment of truth telah tiba. Di bawah pimpinan Jenderal Augusto Pinochet, angkatan bersenjata Chile merebut kekuasaan dari tangan Allende.
Sebelumnya, pada pagi hari, Allende masih berusaha bicara kepada rakyatnya lewat pidato radio yang dipancarluaskan secara nasional. Ia berharap bahwa masih akan banyak pendukungnya yang mau turun ke jalan untuk membela dan mempertahankan demokrasi. Akan tetapi, harapan itu tinggallah harapan tanpa kenyataan. Seruannya menghadapi keheningan. Yang terdengar kemudian adalah dentuman bom yang menghantam istana. Akhirnya Salvador Allende tewas. Demikian pula, demokrasi Chile mati (Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, 2018)!
♦♦♦
Demokrasi, memang, tidak hanya bisa mati di tangan orang-orang bersenjata. Demokrasi juga bisa mati di tangan-tangan orang-orang yang dipilih secara demokratis. Adolf Hitler, yang mulai 30 Januari 1933 diangkat menjadi kanselir Jerman, dengan cepat melumpuhkan demokrasi. Ia menjelma menjadi diktator yang demikian kejam. Alberto Fujimori yang pada 1990 secara demokratis terpilih menjadi presiden Peru pun menjelma menjadi tiran: membubarkan kongres dan konstitusi (1992).
Hugo Chávez yang ketika mencalonkan diri sebagai presiden berjanji akan memberantas korupsi di kalangan elite pemerintah dan membangun demokrasi yang lebih ”otentik”, setelah berkuasa, justru berbuat sebaliknya. Ia membangun kekuasaan diri, memenjarakan lawan-lawan politik, para hakim dan jaksa, para tokoh media yang berbeda pendapat, dan menghapus pembatasan masa jabatan presiden Venezuela.
Kelakuan para pembunuh demokrasi itu macam-macam. Chávez menyebut lawan-lawan politiknya sebagai ”babi tengik” dan ”oligark gembel”; menyebut para pengkritiknya sebagai ”musuh” dan ”pengkhianat”. Fujimori mengaitkan lawan-lawan politiknya dengan terorisme dan penyelundup obat bius. Silvio Berlusconi (ketika menjadi perdana menteri Italia) menyebut para hakim yang mentangnya sebagai ”komunis”. Para wartawan juga menjadi sasarannya. Presiden Ekuador Rafael Correa (2007-2017) menyebut media sebagai ”kuburan musuh politik” yang ”harus dikalahkan”. Recep Tayyip Erdogan (Presiden Turki) menuduh wartawan menyebarluaskan ”terorisme.”
♦♦♦
Konsep ”demokrasi” dapat dilacak ke Yunani Kuno dan terutama negara-kota Athena pada abad ke-5 SM. Kata ”demokrasi” merupakan gabungan dari dua kata, yakni demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan atau memerintah. Karena itu, secara langsung, demokrasi diartikan sebagai ”pemerintahan oleh rakyat”, ”pemerintahan dari rakyat”, atau ”pemerintahan dari mayoritas”. Abraham Lincoln mengartikannya sebagai ”pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dengan kata lain, pemerintahan itu datang dari rakyat, dilakukan oleh rakyat, dan untuk kepentingan rakyat semata.
John Keane (The Life and Dead of Democracy, 2009) mengungkapkan, akar kata demokrasi sudah ada jauh sebelum zaman Yunani. Kata itu sudah digunakan di periode Mycenae, akhir peradaban Zaman Perunggu (1500-1200 SM). Mereka menggunakan kata daāmos untuk menyebut kelompok orang yang tidak memiliki kekuasaan, atau kata damakoi, yang berarti seorang pejabat yang bertindak atas nama daāmos.
Bagi masyarakat di Barat, demokrasi berarti ”demokrasi liberal”, yakni sebuah sistem politik yang tidak hanya ditandai oleh pemilihan umum yang fair dan bebas, tetapi juga oleh pemerintahan berdasarkan hukum, pemisahan kekuasaan, dan perlindungan terhadap kebebasan dasar untuk berpendapat, berkumpul, beragama, dan memiliki kekayaan pribadi (Fareed Zakaria, 2003).
Dengan kata lain, demokrasi—salah satunya—diidentikkan dengan kebebasan mengungkapkan pendapat. Akan tetapi, di Indonesia dewasa ini, kebebasan berpendapat belum menjadi sarana utama dan eksklusif bagi tindakan politik meskipun demokrasi terus bergulir. Intimidasi, ancaman, pengerahan massa, dan kekerasan fisik masih menjadi sarana dominan bagi pencapaian tujuan-tujuan politik. Dan, demos, rakyat, hanya menjadi alat pencapaian tujuan, alat para politisi haus kekuasaan mewujudkan impian mereka, alat para petualang politik memuaskan nafsu meraih kekuasaan dan kekayaan, alat mereka yang pandai dan fasih berbicara untuk meraih tujuan sendiri, rakyat dimanipulasi.
Kekerasan bukan hanya monopoli politikus dan kelompok yang terbiasa dengan premanisme. Ada pula kecenderungan beberapa kelompok yang mengatasnamakan tatanan moral menghalalkan kekerasan. Dalih yang dipakai karena aparat tidak efektif. Tidak efektifnya aparat itu dikaitkan dengan dua alasan: pertama, kurangnya personel, tempat tidak terjangkau; sedangkan alasan yang memicu peradilan massa, kekerasan massa, adalah tuduhan bahwa petugas korup, terlibat, melindungi pelaku kejahatan. Alasan kedua ini biasanya dipakai untuk alibi penggunaan kekerasan massa. Jadi, kekerasan berperan ganda, sebagai alat kritik efektif terhadap aparat, serta untuk meningkatkan kekuatan tawar kelompok tersebut. Namun, bukankah kekerasan semacam itu mengkhianati demokrasi itu sendiri, suatu bentuk pemerkosaan ruang publik (Haryatmoko, 2014)?
Sekali lagi, demos, rakyat, hanya menjadi alat pencapaian tujuan lewat propaganda dan manipulasi.
”Atas nama rakyat!” Atau, ”Demi Rakyat!”
Akan tetapi, pada akhirnya, kalau nafsu sudah terpenuhi, impian sudah digapai, tujuan sudah terlaksana, kekuasaan sudah didapat: ”Selamat Tinggal Rakyat!” Selamat Tinggal!