JAKARTA, KOMPASSebagai salah satu negara anggota tidak tetap di Dewan Keamanan PBB, tanggung jawab Indonesia tak akan mudah. Meski demikian, hal ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk berperan lebih aktif di persoalan keamanan internasional. Realitas keamanan internasional semakin kompleks karena isu tersebut multidimensional.
Peneliti kebijakan luar negeri dan keamanan di LIPI, Muhammad Riefqi Muna, mengutarakan pandangan itu, di Jakarta, Sabtu (9/6/2018). ”Indonesia dapat mendorong sistem keamanan internasional berdasar aturan hukum untuk meraih perdamaian global yang berkelanjutan. Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi untuk mendorong perdamaian,” ujarnya.
Untuk memenuhi tanggung jawab itu, Riefqi mengingatkan supaya perwakilan Indonesia di DK PBB mendapat dukungan dari dalam negeri, baik aspek logistik, operasional, dukungan pemikiran, kajian, maupun analisis risiko. ”Kesempatan ini jangan disia-siakan. Ini kesempatan Indonesia untuk menangani isu-isu strategis global,” kata Riefqi.
Seperti telah diberitakan, Indonesia, Jumat (8/6), menjadi anggota tidak tetap DK PBB untuk periode 2019-2020. Ini kali keempat Indonesia berada di posisi ini setelah 1973-1974, 1995-1996, dan 2007-2008. Indonesia akan bertugas selama dua tahun mulai 1 Januari 2019.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang menghadiri sidang voting di Markas PBB mengatakan, kemenangan ini adalah bentuk kepercayaan internasional kepada Indonesia. ”Kontribusi Indonesia bagi perdamaian global diterima,” ujarnya dari New York.
Guru Besar Politik Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu menilai, terpilihnya Indonesia menjadi bukti pengakuan dunia terhadap peran positif Indonesia selama ini, seperti bantuan kemanusiaan di Myanmar, proses mediasi konflik Afganistan, keadilan bagi Palestina, dan proyeksi Indonesia sebagai kekuatan moderat di dunia Islam. Hal itu juga menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menjembatani hubungan negara-negara besar, seperti China dan Amerika Serikat.
Selama dua tahun nanti, lanjut Jemadu, Indonesia diharapkan bisa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mempromosikan kerja sama Indo-Pasifik sebagai ekosistem perdamaian yang inklusif dan penggunaan pendekatan budaya untuk memberantas radikalisme dan terorisme.
Mengisi kekosongan
Tantangan terbesar Indonesia ke depan adalah merajut kembali multilateralisme di PBB yang bebas dari nasionalisme sempit dan tidak menguntungkan siapa pun. Perang dagang AS dengan mitra dagang, seperti China dan Uni Eropa, akan dapat mengancam ekonomi dunia. Demikian pula dengan polarisasi resolusi konflik di Suriah.
”Tidak ada kekuatan menengah yang tampil menyuarakan kekuatan nurani perdamaian. Kita bisa mengisi kekosongan itu sebagai kekuatan Islam moderat,” tutur Jemadu.
Hal senada dikemukakan Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Nur Rachmat Yuliantoro. Ia menilai Indonesia harus segera menyiapkan diri untuk sejumlah tantangan besar dalam persoalan keamanan internasional. Tantangan itu antara lain krisis nuklir Semenanjung Korea, perang Suriah, konflik Israel-Palestina, ketegangan di Laut China Selatan, serta persoalan kemanusiaan di Yaman.
”Hal ini membutuhkan perhatian besar dari diplomat Indonesia di DK PBB. Belum lagi persoalan keamanan nontradisional, seperti ancaman terorisme yang meningkat, penyelundupan narkoba, serta perdagangan manusia,” papar Nur Rachmat.
Menurut dia, terpilihnya Indonesia sebagai anggota DK PBB karena keberhasilan perjuangan diplomasi di panggung internasional. (LUK)