Drama Korea, demikian orang biasa menyebutnya. Film-film berseri buatan perusahaan Korea Selatan ini menguras emosi para penikmatnya. Kisah percintaan dan pengkhianatan membuat pencandu drama Korea sanggup duduk berjam-jam di depan layar kaca televisi. Beberapa dari mereka sampai harus mengusap air mata karena menyaksikan adegan yang konon sangat ”menyentuh perasaan”.
Rencana pertemuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Singapura tak ubahnya juga drama Korea. Di babak awal, pada tahun lalu, drama ini ditandai dengan ketegangan di Semenanjung Korea gara-gara sejumlah uji coba rudal balistik antarbenua dan tes ledakan nuklir bawah tanah yang dilakukan Kim Jong Un. Perang kata-kata terjadi antara Trump dan Kim Jong Un. Yang satu mengklaim bisa meluncurkan rudal ke wilayah AS, yang satu lagi menyatakan memiliki kemampuan persenjataan lebih hebat. ”Tombol nuklir saya lebih besar,” demikian lebih kurang disampaikan oleh Trump.
Secara formal, Korut masih berada dalam status perang dengan AS. Hal ini merupakan buntut dari belum dihasilkannya kesepakatan damai permanen Perang Korea pada 1950-an. Dalam perang yang diawali dengan serbuan militer Korut pada 1950 (dengan dibantu China serta Uni Soviet) ini, AS dan negara-negara lain berada di pihak Korsel. Pertempuran berakhir lewat kesepakatan gencatan senjata atau kesediaan tidak saling menyerang yang bersifat sementara. Maka, hingga sekarang, secara teknis perang bisa kembali meletus di Semenanjung Korea setiap saat.
Di tengah kondisi itu, Korut menjadi negara yang sangat penuh kewaspadaan. Organisasi militer merupakan komponen penting dalam kehidupan Korut karena situasi perang yang ”belum berakhir”. Dengan berjuta-juta prajurit, militer Korut nyaris berada di mana-mana di Korut. Kehidupan rakyat dikendalikan demi menghadapi ancaman AS dan Korsel.
Korsel menempuh jalan berbeda. Seoul menjalin aliansi pertahanan dengan AS. Setiap serangan terhadap Korsel wajib dibalas AS. Karena itu, puluhan ribu tentara AS ditempatkan di Korsel.
Diplomat senior Korsel yang pernah bertugas di Indonesia bercerita, kerja sama aliansi itu membuat Korsel leluasa menempuh jalan pembangunan ekonomi dan demokrasi. Sumber daya ekonomi dan manusia negara itu tidak perlu dicurahkan sepenuhnya bagi angkatan bersenjata karena ada kekuatan militer AS yang siap sedia setiap saat.
Hasilnya, Korsel sangat maju sekarang. Industrinya, mulai dari teknologi (ponsel, mikroprosesor) hingga hiburan (K-pop), berkembang pesat. Demokrasi Korsel pun semarak. Ada kepastian penyelenggaraan pemilu untuk mengganti pemimpin negara secara reguler. Pers Korsel bebas dan warga leluasa untuk berdemonstrasi.
Drama penuh ketegangan di Semenanjung Korea berubah saat Kim Jong Un, yang kabarnya menjalani pendidikan dasar di Swiss, menyatakan siap mengirim delegasi ke Olimpiade Musim Dingin Korsel pada pidato Tahun baru 2018. Ia dua kali bertemu dengan Presiden Korsel Moon Jae-in, demikian pula dengan Presiden China Xi Jinping. Presiden Suriah Bashar al-Assad serta Presiden Rusia Vladimir Putin telah menyampaikan isyarat ingin pula menemui Kim Jong Un. Dari semula dicitrakan sebagai pria kejam gemar berperang, Kim Jong Un, menurut sejumlah media Barat, kini tampil sebagai sosok negarawan internasional yang sedang menyiapkan fondasi perdamaian penting.
Drama Korea yang satu ini menempatkan pula Trump dan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo di panggung utama. Baik kaum Republik maupun Demokrat dilaporkan sama-sama mendukung langkah Trump untuk menemui Kim Jong Un.
Drama ini mungkin akan berpuncak, mengalami klimaks, pada pertemuan di Singapura, Selasa besok. Kim Jong Un kemungkinan mau menghapus arsenal nuklir secara pelan-pelan dan bertahap. Sebagai imbalannya, AS mencabut sanksi dan mungkin memberi bantuan ekonomi seraya menjamin tidak ada serangan terhadap rezim tersebut.
Beberapa laporan menyebutkan, Kim Jong Un berkeinginan mengubah dan membangun negaranya. Untuk mewujudkannya, jalannya tak mudah. Ia harus hati-hati karena ada ancaman dari dalam ataupun luar negeri. Jika di tengah jalan didapatinya ancaman-ancaman itu tidak hilang, bukan tak mungkin drama Korea yang satu ini akan kembali dipenuhi ketegangan seperti di babak awal.