Trump-Kim Jong Un Tak Bisa Diprediksi
Tak ada yang bisa meramalkan apakah pertemuan Donald Trump dan Kim Jong Un akan membuahkan hasil kesepakatan perlucutan nuklir. Trump akan mengandalkan instingnya.
Pertemuan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un bakal terwujud, Selasa (12/6/2018) besok, tetapi dengan hasil yang sulit diprediksi.
Berbeda dengan pertemuan pemimpin negara yang umumnya sudah dipersiapkan matang oleh para pejabat masing-masing, menurut sejumlah sumber, dalam pertemuan ini Trump sangat percaya diri bahwa dirinya bisa ”mengatasi” Kim Jong Un sehingga dia tak perlu mempersiapkan diri secara khusus.
”(Yang saya hadapi) Adalah wilayah yang belum diketahui, tetapi saya merasa sangat yakin. Hal ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Dan jelas, apa yang sudah pernah dilakukan tidak berhasil,” kata Trump kepada para wartawan, Minggu.
Dengan kata lain, Trump akan lebih banyak mengandalkan instingnya untuk melakukan apa yang puluhan tahun tak mampu dilakukan pemimpin dunia, yaitu menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea dengan target utama menghentikan program nuklir Korut.
Apa yang membuat Trump sangat bersemangat dan percaya diri? Salah satunya adalah keyakinan dirinya bahwa dia memiliki kemampuan negosiasi yang demikian hebat, dengan menggunakan teknik-teknik seperti yang ia tuangkan dalam bukunya, The Art of the Deal.
Sejumlah sumber di Gedung Putih juga menyebutkan bahwa Trump terobsesi untuk meraih Nobel Perdamaian. Tawaran Kim Jong Un untuk bertemu dilihatnya sebagai peluang emas untuk menjadi sosok penentu dalam panggung sejarah.
Pertemuan ini juga secara tidak langsung akan menutupi sejumlah pemberitaan negatif terkait dirinya, antara lain investigasi skandal campur tangan Rusia pada pemilu 2016, perang dagang dengan China dan Eropa, juga pertemuan G-7 yang menunjukkan betapa AS sudah meninggalkan dan ditinggalkan oleh para sekutunya.
Trump yang temperamental dan impulsif itu sebelum berangkat ke Singapura meninggalkan ”jejak” yang membuat para mitra G-7 terkesiap. Bukan saja AS tak mau menandatangani komunike bersama G-7, melainkan juga secara blak-blakan ia menyerang PM Kanada Justin Trudeau di Twitter. Trump menyebut Trudeau sebagai sosok yang ”tidak jujur dan lemah”. Ia juga menuduh Trudeau telah memberikan keterangan palsu.
Hal-hal tak terduga seperti inilah yang dikhawatirkan para pembantunya mengingat Trump cenderung tidak mau mendengarkan nasihat mereka dan memilih merespons situasi sesuai instingnya. Sejumlah pengamat mengkhawatirkan, Trump tidak mengerti seberapa besar dan pelik persoalan di Semenanjung Korea ini.
Tekanan Kim Jong Un
Menurut bekas negosiator andal urusan Korut di Deplu AS, Joseph Y Yun, jika Kim Jong Un menunjukkan isyarat menuju perlucutan senjata nuklir, sangat mungkin ia akan menekan Trump untuk memberikan imbalan. Dan yang mengkhawatirkan, agar tidak dianggap ”gagal”, kemungkinan Trump akan memenuhi tuntutan apa pun.
”Persoalannya, Trump tidak mengerti dinamika keamanan yang sangat kompleks di Semenanjung Korea, di mana ada 28.500 personel militer AS yang dikerahkan untuk menjaga gencatan senjata (antara Korsel dan Korut), karena perang di antara keduanya secara resmi belum berakhir. Apakah Trump mengerti apa artinya menghilangkan deterrence? Apa artinya mengakhiri perang?” kata Yun kepada The New York Times.
Namun, Trump sangat percaya diri. Menurut Trump, hanya dalam beberapa menit saja pertemuannya dengan Kim Jong Un, ia akan langsung mengetahui apakah Pemimpin Korut itu bakal serius atau tidak terkait program nuklir. ”Saya akan tahu dengan cepat. Dan jika hal positif tidak terjadi, saya tak akan buang waktu saya dan juga waktu dia (Kim Jong Un),” kata Trump.
Kerja keras
Kondisi seperti ini membuat para pembantu Trump harus bekerja keras memuluskan jalan bagi pertemuan 12 Juni. Menlu AS Mike Pompeo, menurut Times, telah dua kali melakukan perjalanan rahasia ke Pyongyang. Ia juga sudah memberikan pengarahan kepada Trump soal sejarah konflik Korea, kemampuan militer Korut, dan dampak sanksi ekonomi.
Persoalannya, strategi para pembantu Trump juga tidak sama. Jika Pompeo cenderung suportif, pendekatan Penasihat Keamanan Nasional John Bolton lebih agresif dan skeptis. Bolton memilih pendekatan seperti kepada Libya. Setelah Libya menghentikan program nuklirnya, sang pemimpin, Moammar Khadafy, terbunuh satu dekade kemudian. Pernyataan Bolton ini membuat berang Pyongyang.
Kini, dunia menanti drama apa yang akan terjadi di Pulau Sentosa, Singapura. (AFP/AP)