Awal Baik Menuju Perdamaian Dunia
Kompak dan tampak menyatu. Ucapan-ucapan menghangatkan suasana meluncur dari Presiden AS Donald Trump. Trump bahkan berjalan beriring dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un usai pertemuan mereka di Singapura, Selasa (12/6/2018). Keduanya pun meneken dokumen berisikan, “denuklirisasi total” oleh Korea Utara.
Trump menambahkan, mereka berdua akan mengikatkan diri supaya lebih dekat lagi. Trump mengatakan pasti akan mengundang Kim ke Gedung Putih. Kim pun menjawab, “Saya siap memenuhi undangan.”
Tidak tertutup kemungkinan, pertemuan ini membuka jalan baru untuk pembukaan hubungan diplomatik kedua negara, yang sekian lama terputus. Ini sesuai pandangan Sue Mi Terry, seorang mantan analis CIA yang kini menjadi peneliti di CSIS (Center for Strategic and International Studies) AS bahwa pertemuan ini dimungkinkan sebagai pembuka hubungan diplomatik kedua negara.
Situasi kondusif ini muncul, salah satunya sebagai hasil baik dari pola pendekatan AS. Dewan Penasihat Keamanan AS, John Bolton, dan Wapres Mike Pence misalnya, sempat menekankan bahwa denuklirisasi Korut dapat dengan meniru model Libya.
Namun, Trump memilih pola yang diusulkan Menlu Mike Pompeo, yang sudah dua kali bertemu Kim sebelum April 2018.
Korut juga tidak suka dengan pola Libya. Yakni denuklirisasi total tetapi berujung dengan perburuan serta kematian pemimpin Libya almarhum Moammar Khadafy. Trump juga tampaknya siap dengan saran Pompeo yang mengatakan, “Pertemuan ini adalah awal dari proses.”
Sebelum perubahan sikap itu, sempat terjadi perang mulut di antara kedua pemimpin negara. Hal ini bahkan sempat membuat Trump memutuskan pembatalan pertemuan puncak pada 24 Mei lalu.
Secara tak terduga pertemuan dihidupkan kembali dan berlangsung sesuai rencana, 12 Juni. Kim pun menjawab lewat penerjemah, “Situasi tidak mudah menuju pertemuan puncak ini.” Akan tetapi dia mengatakan senang pertemuan bisa terwujud. “Dunia akan melihat sebuah perubahan besar,” ujar Kim.
Kim menambahkan asas praduga telah mewarnai hubungan kedua negara selama setengah abad lebih. “Kami akan meninggalkan masa lalu,” kata Kim.
Sebelumnya ada yang mengatakan bahwa ini adalah pertemuan fantasi. “Akan tetapi, saya mengalahkan semua perkiraan orang. Pertemuan kami sangat menyenangkan,” kata Trump.
Menjelang pertemuan ini, yakni pada 11 Mei lalu, Trump sudah mengatakan pada utusan Korea Utara saat berkunjung ke Gedung Putih, “Silahkan, kita bisa beranjak lebih cepat, bisa beranjak perlahan.” Ini merujuk pada tujuan utama AS, denuklirisasi Korea Utara.
Di balik proses ini adalah peran Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, yang sudah mengingatkan Trump bahwa denuklirisasi unileral dan urgen adalah tuntutan tidak realistis. Presiden Trump awalnya tidak suka dengan opsi ini dan ingin cepat-cepat meraih hasil.
Ferial Saeed, mantan pejabat Deplu AS, menuliskan pertemuan puncak menjadi awal saling kenal. Artinya, harapan yang terlalu tinggi diturunkan sembari terus merencanakan diskusi untuk denuklirisasi sekaligus mengakhiri Perang Korea 1953.
Pertemuan ini berakhir dengan baik, mengubah suasana panas sebelumnya, yang telah diakui Kim Jong-un sempat menjadi hambatan menuju pertemuan puncak. Trump dan kubunya sempat menjuluki Kim sebagai “pria roket kecil”, dan “musim panas dan musim rontok terakhir” yang akan jatuh.
Korut di sisi lain, misalnya, sempat menuduh Mike Pence sebagai boneka politik. Kim sendiri pernah menjuluki Trump sebagai “pria tua” yang memperlihatkan “mental menyimpang”.
Bagaimana kelanjutannya?
Bagaimana kelanjutan pertemuan ini? “Pertemuan di Singapura menandai sebuah awal, bukan akhir, dari periode panjang yang sulit dengan Korea Utara,” kata Soo Kim, seorang mantan analis Korea Utara untuk CIA. Kelanjutan proses ini juga tergantung para pemain di kawasan, termasuk Rusia, AS, Jepang, Korea Selatan dan China. Apalagi, karena negara-negara tersebut punya kepentingan termasuk Kim yang sangat dekat dengan China dan juga Rusia.
Pertemuan di Singapura menandai sebuah awal, bukan akhir
Bagaimana Korut kelak, apakah akan lebih dekat ke AS dan meninggalkan China? Ini pun menjadi masalah yang akan pelik. Apalagi, perjalanan Korut sebagai sebuah negara telah terjebak pada kepentingan geopolitik oleh negara-negara di sekitarnya.
Namun yang terpenting, awal baik telah tertancap dengan baik. Tentu, bukan tidak mungkin situasi berubah buruk sewaktu-waktu tetapi pertemuan ini sungguh sebuah awal yang baik. Setidaknya, hal ini berpotensi mengubah Korut yang tadinya merupakan negeri yang keji soal hak asasi manusia.
“Pertemuan puncak ini akan menjadi sejarah, bahkan bukan tidak mungkin akan berakhir dengan tuntas. Situasi di Semenanjung Korea juga bukan kesalahan Trump dan Kim tetapi sebuah refleksi strategi dengan melewati masa dekade demi dekade yang tidak penah sukses diselesaikan,” kata Ryan Haas, pakar Asia dari John L. Thornton China Center, yang juga seorang mantan pakar analis CIA.
Artinya, tidak perlu terlalu merisaukan bagaimana prosesnya kelak. Kini, setidaknya pula telah ada pembuka yang baik.
Tentu, ada peran China di balik kesuksesan ini, termasuk peran Presiden Xi Jinping. China tentu ingin hubungan Korut-AS dalam tingkat tertentu membaik. Ini penting untuk mencabut sanksi ekonomi AS untuk Korut, yang bagaimana pun membebani China.
Trump pun paham tentang peran China ini. Trump mengetahui betapa Kim menurut saja setiap kali diundang untuk bertemu Presiden Xi di Beijing, termasuk menjelang pertemuan ini. Adalah China yang juga berperan membujuk Kim untuk bertemu dengan Trump.
Karena paham akan peran Presiden Xi, Presiden Trump memberi imbalan pada China berupa pencabutan sanksi pada bisnis ZTE, perusahaan telekomunikasi China yang sempat dikenakan sanksi. ZTE sempat dikenakan sanksi, tak boleh membeli komponen elektronik buatan Qualcomm, perusahaan AS pemasok komponen ke ZTE.
Pujian bagi Trump
Awal yang baik ini bisa disebut sebagai pujian bagi Trump, yang terlihat sabar. Ini berbeda dengan kebijakan luar negeri AS di bawah Trump, yang setiap programnya terkesan memaksakan kehendaknya.
Menjelang pertemuan ini, Trump memang telah menyebutkan sangat mendambakan Hadiah Nobel Perdamaian atas sukses pertemuan awal ini. Lepas dari itu akan berakhir dengan Nobel Perdamaian atau tidak, sekali lagi pertemuan ini pembuka yang indah. Kelanjutannya, tergantung pada daya tahan Trump dan para elite di AS sendiri.
Ada yang mengkritik Trump karena bersedia menemui Kim, yang akan menaikkan panggung Kim ke dunia sementara Kim sarat hal-hal negatif. Trump pun dikritik karena mau menemui Kim yang tidak bisa diduga.
Trump menepis semua itu dan memilih bertemu Kim. Untuk pertemuan ini, bisa dikatakan Trump tergolong handal. Ini mungkin meniru langkahnya yang mengernyitkan banyak pihak, termasuk sikapnya merangkul Rusia atau Presiden Rusia Vladimir Putin.
Kita tentu berharap Presiden Trump konsisten dengan pola yang dia lakukan terhadap Korut ini, tentunya di dalam kebijakan luar negerinya yang lain. (AP/AFP/REUTERS)