Kim Song Ju memutuskan menyelamatkan diri ke Inggris setelah lari dari Korea Utara melalui China, 10 tahun lalu. Ia lebih memilih Inggris, bukan Korea Selatan, hanya karena menghindari perlakuan diskriminatif. Namun ternyata ia justru mengalami stratifikasi sosial di lingkungan tempat tinggal dan tempat kerja yang berada di tengah komunitas Korea di London.
”Hampir semua teman saya itu orang dari Korea Utara,” kata Kim Song Ju kepada kantor berita AFP, Senin (11/6/2018), melalui penerjemah di kantor sebuah media di New Malden, Inggris. Ia sering bekerja paruh waktu di media itu jika ada waktu luang dari pekerjaannya di sebuah supermarket Korea.
Kim Song Ju yang pernah menjadi tukang listrik itu mengaku agak kesulitan mengobrol dengan rekan-rekan imigran Korea Selatan. Bahan obrolan pun terbatas hanya tentang permainan golf atau tentang kota New Malden. Sementara kalau mau mengobrol soal pengalaman hidup, mereka pasti akan susah untuk saling memahami.
Mengenai pertemuan tingkat tinggi Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Singapura, para imigran Korut dan Korsel di New Malden berharap upaya itu akan menjadi langkah awal untuk benar-benar mewujudkan penyatuan kembali di kawasan Semenanjung Korea.
Situasi di New Malden yang tenang itu dapat memberikan gambaran kompleksitas upaya menyatukan masyarakat imigran dari dua negara yang selama bertahun-tahun hidup dalam situasi saling curiga. ”Kami ini sesungguhnya masyarakat yang terpisah, tetapi diupayakan bersatu dengan usaha penyatuan lagi. Kami sudah mencobanya bertahun-tahun. Kalau ada acara, kami saling mengundang dan memberi pidato. Tetapi, itu juga tidak berhasil,” kata Choi Joong Wha, warga Korut yang pernah menjadi tentara Korut dan tiba di Inggris 10 tahun lalu.
Di New Malden terdapat 12.000 imigran dari Korsel karena dulu dekat dengan kantor kedutaan besar dan pernah ada markas besar perusahaan Samsung. Selama 10 tahun terakhir, masuk gelombang imigran Korut hingga berjumlah 700 orang di Inggris. ”New Malden merupakan lokasi unik. Imigran Korsel dan Korut hidup bersama di satu tempat. Ada perbedaan di antara kami, tetapi tidak terlihat. Yang terlihat pada cara berbicara,” kata Ha Jaesung, anggota dewan New Malden.
Ha Jeaesung pernah takut ketika pertama kali dalam hidupnya bertemu dengan imigran Korut. Pada waktu itu, ia bertemu imigran Korut di acara orangtua-guru di sekolah anaknya. ”Kami selalu diajari takut dengan orang Korut. Saya kaget dan baru tahu, ternyata kami banyak kemiripan,” ujarnya.
Kim Song Ju juga menduga tetangga-tetangganya yang imigran Korsel cemburu dengan imigran Korut karena mendapatkan fasilitas dan keuntungan lebih banyak dari Pemerintah Inggris.
Meski mirip secara fisik, masih tetap ada perbedaan, dan ini terlihat juga pada lapangan pekerjaan. Imigran Korut biasanya bekerja pada imigran Korsel di pekerjaan-pekerjaan bergaji rendah. ”Korsel dan Korut bisa bergaul, tetapi sebatas hubungan bisnis. Mungkin ada etos bekerja berbeda,” kata pemilik restoran Jang Eun-jean (52) yang tiba di Inggris pada 1980-an.
Terkait dengan pertemuan di Singapura, imigran Korsel dan Korut memiliki pendapat berbeda. Imigran Korsel lebih optimis. Sebaliknya, imigran Korut tidak. Hal ini bisa dimaklumi karena bukan kali ini saja rezim Korut berunding dengan AS.
Membangun jembatan
Terlepas akan seperti apa hasil pertemuan Trum dan Kim Jong Un di Singapura, pusat perawatan orang lanjut usia di New Malden berusaha menjembatani imigran Korsel dan Korut. Sekitar 15 imigran Korut bergabung dengan imigran Korsel untuk menampilkan tarian tradisional Korea, menyanyi, dan memasak di pusat manula itu. ”Akhirnya kami mulai bisa menyatu dan berkegiatan bersama. Orang mulai berpikiran terbuka. Banyak orang mulai sadar, kita harus bersatu,” kata Sun Hwa Griffiths, pemimpin pusat manula itu.
Salah satu imigran Korut berusia 77 tahun yang lari dari Korut dengan anaknya karena kelaparan mengaku, integrasi warga Korsel-Korut menjadi penyelamatnya. Awalnya, proses itu tidak mudah. Ada hambatan bahasa dan lingkungan yang kompetitif. Namun, kini hubungan membaik. Bahkan, mereka lupa siapa yang berasal dari Korut dan Korsel. ”Kami punya darah, bahasa, dan nenek moyang sama,” ujarnya.
Ha Jaesung beberapa waktu lalu berjuang memasukkan tiga imigran Korut di dewan asosiasi warga. ”Di masa depan, ketika anak kami dan anak imigran Korut dewasa, mereka akan berteman dan tak akan memikirkan perbedaan. Kesenjangan itu akan hilang 4-5 tahun ke depan,” katanya. (AFP/LUK)