Pertemuan G7 Berlangsung Runyam
Seperti sudah diduga pertemuan G7 berakhir kacau. Suasana menjelang pertemuan pun sudah tidak kondusif. Para pemimpin mengucilkan Presiden AS Donald Trump yang meninggalkan pertemuan sebelum ditutup resmi pada hari Sabtu (9/6/2018) di La Malbaie, Quebec, Kanada.
Sangat disayangkan kekuatan G7 sebagai pilar global terkesan retak di tengah dunia yang sedang berubah.
Trump juga tiba di pertemuan lebih lambat dari jadwal resmi. Dia tidak hadir pada sesi bertema lingkungan hidup dan energi bersih pada hari Jumat (8/6/2018). Namun, Trump menyeruduk ke ruang pertemuan saat G7 membahas tema kesetaraan gender. Kemudian, ada nuansa tak hormat oleh Trump pada G7 yang beranggotakan AS, Kanada, Jepang, Perancis, Inggris, Italia dan Jerman.
Kantor berita Associated Press memberitakan saat Trump masuk ruangan, Presiden Perancis Emmanuel Macron langsung memelototi Trump. Macron mungkin jengkel karena keterlambatan Trump membuat jadwal pertemuan bilateral mereka pada Jumat pagi menjadi tertunda.
Disebutkan, Trump malah asyik menyapa para pemujanya di Gedung Putih pada Jumat pagi, dan tidak terlihat buru-buru untuk segera berangkat La Malbaie di Kanada. Bahkan, sebelum tiba di lokasi pertemuan, Trump mengadakan jumpa pers dengan pernyataan akan membatalkan kesepakatan Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), yang beranggotakan Kanada dan Meksiko serta AS.
Dia menyampaikan ancaman pembatalan, terkait kemungkinan AS tidak mendapatkan apa yang diinginkannya dari NAFTA. Ini merupakan serangan tak langsung pada Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, yang tidak mau menerima setiap modifikasi apapun terhadap NAFTA.
Pada serangkaian pertemuan G7 Trump dibombardir oleh para pemimpin negara-negara maju. Pengenaan tarif mulai 1 Juni 2018 lalu oleh Trump terhadap impor baja dan aluminium asal Uni Eropa, Kanada dan Meksiko merupakan salah salah satu penyebab kekacauan suasana menjelang pertemuan G7. “Ada debat keras saat pertemuan,” kata Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe.
AS benar-benar seperti terisolir dalam pertemuan G7. “Mereka bersatu menentang Trump,” kata Ketua Dewan Penasihat Presiden Trump, Larry Kudlow.
Ide AS ditolak
Kekacauan pertemuan G7 kali ini bukan hanya akibat isu perdagangan. Ada banyak isu lain yang dicuatkan Trump dan mengenyitkan sekutu-sekutu utama AS. Trump pada April 2018 menyatakan AS mundur dari kesepakatan bersama soal nuklir Iran tanpa memberi tahu sekutu Eropa yang juga terlibat dalam kesepakatan itu pada 2015.
G7 menekankan dunia tetap perlu menjaga agar Iran tidak mengembangkan senjata nuklir maka dari itu meninggalkan kesepakatan soal nuklir Iran bukan langkah baik. Keputusan Trump soal Iran menjengkelkan sekutu Eropa karena juga sekaligus akan terhalang untuk berbisnis dengan Iran. Aksi Trump soal Iran akan menguntungkan China yang sedang gencar mendalami hubungan ekonomi dengan Iran.
Pertemuan makin runyam setelah Trump mengusulkan agar G7 diubah menjadi G8 dengan memasukkan Rusia kembali. Rusia tidak diundang lagi dalam pertemuan G7 sejak 2014 karena mencaplok Crimea, wilayah Ukraina. “Rusia itu adalah aset dan layak diundang,” kata Trump.
Para pemimpin tidak setuju. Bagaimana Rusia yang semakin tidak demokratis, mencaplok Crimea dan meracuni agen mata-mata pembelot bisa diterima? Perdana Menteri Inggris Theresa May dikabarkan merupakan salah satu pemimpin yang berang dengan ide soal Rusia ini. Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan, “Kembalinya Rusia ke G7 tidak akan terjadi seandainya tidak ada kemajuan dalam persoalan terkait Ukraina.”
Ketidakharmonisan antara enam pemimpin dengan Trump tergambar jelas dalam komunike G7. Komunike menyerang proteksionisme yang dicanangkan Trump. Komunike juga menuntut G7 agar tetap kembali pada komitmen tentang kesepatan nuklir dengan Iran. Kelompok ini juga menuntut tanggung jawab Rusia soal Ukraina.
Hal lain yang juga mengganggu adalah tindakan Trump yang langsung meninggalkan pertemuan G7 sebelum berakhir. Trump langsung terbang ke Singapura untuk bertemu dengan Kim Jong-Un, pemimpin Korea Utara.
Saling serang
Setelah pertemuan berakhir suasana tidak enak terus bermunculan. Aksi saling serang berlanjut, persisnya antara para pemimpin versus Trump yang terkesan sendirian. Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau sebagai ketua bergilir G7 memanfaatkan forum untuk mengecam keputusan Trump soal tarif dan modifikasi kerangka perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).
Trudeau mengatakan kebijakan tarif adalah penghinaan. Trudeau menambahkan bahwa Kanada akan membalas balik pengenaan tarif oleh AS dan tidak bias ditekan. Trudeau mengatakan langkah balasan dilakukan sebagai langkah untuk menghukum pemerintahan Trump. “Ini bukan untuk menghukum para pekerja Amerika," ujar Trudeau.
Para pemimpin lain mendukung Trudeau yang terlihat dalam komunike. Para pemimpin, kecuali Trump, menegaskan perdagangan internasional harus diatur lewat rezim perdagangan internasional, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Trump membalas dengan mengatakan mitra dagang AS mengenakan tarif terhadap impor dari AS mengapa pula AS tidak berhak melakukan hal serupa. Trump juga menuduh Trudeau sebagai orang lemah, tidak jujur. “Dia mengatakan tidak hendak menghukum para pekerja AS tetapi justru mengenakan tarif terhadap impor dari AS," ujarnya.
Trump mengatakan bertahun-tahun AS memberikan tarif rendah terhadap impor tetapi sebaliknya AS tidak menikmati tarif rendah terhadap ekspor AS. Trump mengatakan hal inilah sebagai penyebab kekalahan industri AS dan menuduh negara-negara mitra dagang telah merampas AS lapangan kerja di AS.
Hanya saja sebagian para ekonom dan juga pebisnis AS tidak setuju dengan argumentasi Trump. Pengenaan tarif hingga 25 persen terhadap negara-negara tertentu merupakan pelanggaran terhadap asas perdagangan yang melarang tindakan diskriminatif. Tidak semua negara mendapatkan sanksi tarif dari AS, Australia termasuk yang dikecualikan.
Argumentasi lain adalah industri manufaktur AS sudah aus, kalah daya saing. Maka dari itu pengenaan tarif untuk melindungi industri sun set (usang) bukan langkah tepat. Akan tetapi Trump tetap yakin serta menegaskan bahwa dia harus membela industri AS apapun keberatan dari pihak lain.
Seiring dengan itu Trump pun meminta pemerintahannya menolak komunike G-7 dan tidak menyetujui komunike yang dikeluarkan G7. “Amerika tidak akan bisa menerima lagi perlakuan mereka,” kata Trump merujuk pada kekalahan AS dalam perdagangan.
Presiden Perancis Emmanuel Macron membalas Trump. Macron mengatakan jangan biarkan hubungan diplomasi dan kerja sama internasional ditandai dengan kemarahan. “Kita harus berbuat maksimal untuk kebaikan warga kita semua,” kata Macron mengomentari Trump yang menyudutkan Trudeau.
Perang juga berlanjut lewat Twitter. Tentang penolakan Trump pada komunike G7, Macron menuliskan, ”Mungkin bagi Presiden AS tidak masalah dengan isolasi atas dirinya, tetapi bagi kami enam pemimpin juga tidak masalah jika hanya enam yang menyetujui komunike”.
Lanjut Macron, "Karena kami enam negara memiliki nilai, mewakili perekonomian pasar yang memiliki peran besar dalam sejarah dan sekarang menjadi kekuatan internasional yang benar.”
Trump tidak mau kalah dan lewat Twitter menuliskan, “Tolong katakan pada Perdana Menteri Trudeau dan Presiden Macron bahwa mereka mengenakan tarif massal dan memberlakukan hambatan non-tarif terhadap produk AS. Dan AS menghadapi defisit dengan Uni Eropa sebesar 151 miliar dollar AS. Kanada menekan para petani AS lewat tarif tinggi.” Trump pun menyebutkan Kanada mengenakan tarif 275 persen terhadap produk susu asal AS.
Merkel pusing
Angela Merkel menyatakan kerisauan atas perkembangan yang terjadi. “Situasi ini membuat stres,” kata Merkel tentang langkah Trump yang berceloteh lewat Twitter. “Kondisi seperti ini tidak baik. … Saya tidak yakin retorika yang memanas akan memperbaiki keadaan,” kata Merkel usai pertemuan G7.
“Kadang saya berpikir bahwa Presiden AS yakin hanya ada satu pihak yang menang dan pihak-pihak lainnya kalah. … Saya sangat yakin akan keadaan yang saling menguntungkan,” kata Merkel seraya menambahkan bahwa kerja sama internasional tetap merupakan cara terbaik.
Keprihatinan tidak saja disampaikan oleh para pemimpin G7. Banyak pihak di AS juga tidak sepakat dengan apa yang dilakukan Trump. Mungkin kekacauan G7 adalah hal yang diinginkan musuh-musuh lama aliansi Trans-Atlantik seperti Rusia dan China dalam hal geopolitik global. Merkel secara implisit mengingatkan bahwa Trans-Atlantik tetap diperlukan kuat untuk menghadapi China dalam hal sistem perekonomian.
Senator AS John McCaine (Republikan Arizona) mengingatkan Uni Eropa lewat Twitter bahwa, “Mayoritas AS lainnya tetap pro-perdagangan, pro-globalisasi dan mendukung aliansi berdasarkan nilai-nilai yang dipegang selama 70 tahun. Amerika tetap berdiri bersama Anda meski Presiden kami tidak demikian”.
Para pemimpin G7 mungkin harus bersabar. G7 telah menyajikan tontotan yang tidak baik. Situasi memang sedang memperlihatkan G7 yang kontras dari tahun-tahun sebelumnya. Secara tradisi AS sangat vital dan menentukan dalam pertemuan G7. Dan, dunia pun tetap membutuhkan AS untuk mengatasi masalah-masalah global. G7 sungguh berbeda ketika AS di bawah presiden AS sebelumnya seperti Barack Obama, dimana G7 sangat solid.
Meski Trump terlihat unik, tidak bisa disimpulkan bahwa AS telah berubah total. Perdana Menteri Kanada Trudeau sudah menegaskan bukti bahwa aliansi AS-Kanada menghasilkan banyak hal baik untuk dunia. Dan dengan Rusia yang tidak demokratis dan China yang mendominasi ekonomi dengan system yang unik, Tran-Atlantik masih tetap dibutuhkan.
Hingga kini, juga belum ada negara yang berani mengambil inisiatif global seperti yang dilakukan AS di masa lalu. Mungkin dunia perlu bersabar menantikan situasi pemerintahan AS agar kembali ke jalurnya, pro-global. (REUTERS/AP/REUTERS)