Perempuan Mosul Berdemonstrasi Desak Pembebasan Suami atau Putra Mereka
Oleh
Elok Dyah Messwati
·4 menit baca
Setiap Jumat, sejak Kota Mosul, Irak, lepas dari cengkeraman milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) pada Juli 2017, para perempuan Mosul selalu berdemonstrasi di alun-alun Al-Minassa. Pengunjuk rasa ini menyuarakan tuntutan kepada pemerintah Irak agar membebaskan suami dan putra mereka yang masih ditahan karena dituduh bekerja untuk NIIS.
Para perempuan merasa putus asa karena tak mengetahui nasib suami dan putra mereka. Dengan pakaian serba hitam dan anak-anak, para demonstran mengacung-acungkan foto suami serta putra mereka.
Mereka dipenjara oleh pemerintah karena diduga terlibat NIIS. Padahal menurut para perempuan, suami dan putra mereka dipaksa bekerja untuk kelompok ekstrem tersebut. Namun, pasukan Irak tetap mencurigai orang-orang itu telah berkolaborasi secara sukarela dengan milisi NIIS sehingga harus dipenjara.
Umm Abdullah (80) yang kehilangan putranya mengatakan, jangankan bebas dan diberi kompensasi, putranya malah ditahan di balik jeruji besi. Dia takut anaknya dituduh oleh pemerintah Irak secara keliru karena sudah ditahan selama 12 bulan sejak pasukan Irak mengusir NIIS.
Ketika milisi NIIS menguasai Kota Mosul pada tahun 2014 melalui serangan kilat, banyak warga Mosul yang bekerja sebagai pasukan keamanan atau pegawai negeri tidak sempat menyelamatkan diri serta tak memiliki tempat untuk bersembunyi. Mereka kemudian dipaksa untuk secara terbuka bersumpah setia kepada NIIS.
Mengejar keadilan
Para perempuan yang berdemonstrasi di alun-alun Al-Minassa, Mosul, mirip dengan para perempuan di Plaza de Mayo yang tak lelah mengejar keadilan bagi putra-putra mereka yang hilang saat Argentina dikuasai junta milter pada 1976-1983.
Berdiri di tangga alun-alun, Shaima (38), seorang ibu rumah tangga, menuturkan, milisi NIIS menggerebek rumah mereka dan menculik suaminya pada 25 November 2016. Nasib serupa menimpa banyak polisi lainnya.
Menurut Shaima, ketika pasukan Irak merebut kembali Kota Mosul, suaminya bersama dengan tahanan lain digunakan oleh NIIS sebagai perisai manusia. "Tentara Irak kemudian menangkapnya karena dia tidak memiliki surat identitas dan janggutnya bertumbuh tebal selama ditahan oleh NIIS," ucap ibu dari enam orang anak ini sambil menahan air mata.
Tentara Irak menangkapnya karena dia tidak memiliki surat identitas.
Ketika Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi mengunjungi Mosul pada Maret lalu, para perempuan itu mencoba mendekatinya dan bertanya tentang nasib suami dan putra mereka. Namun, para pengawal mendorong para perempuan. Pejabat keamanan mengatakan kepada wartawan bahwa keluarga dari semua pria yang ditangkap di Mosul telah diberitahu mengenai keberadaan keabat mereka.
Akan tetapi, Shaima mengatakan, dia tidak mendapatkan pemberitahuan resmi dan mencari informasi sendiri. Shaima telah menerima kabar bahwa suaminya ditahan di bandara Al-Muthana Baghdad, bersama dengan tersangka teroris lainnya.
Abu Luay, pria berusia 56 tahun, menghabiskan waktunya untuk mencari kedua putranya yang diculik dari rumah mereka oleh milisi NIIS pada 4 Oktober 2016. Sejak itu, dua putranya yang bernama Luay dan Qusay itu tidak pernah muncul kembali. Setelah beberapa bulan menyelidiki, "Kami yakin mereka ditahan oleh pasukan keamanan, tetapi kami tidak tahu mengapa," kata Abu Luay.
Dieksekusi
Tidak semua orang yang ditahan oleh NIIS selamat dari kebrutalan kelompok tersebut. "Banyak yang hilang dieksekusi oleh NIIS dan jenazah mereka dilemparkan ke \'Khafsa\'," kata aktivis hak asasi manusia Sami Faisal. \'Khafsa\' dalam bahasa Arab berarti "jurang".
\'Khafsa\' yang menjadi lubang pembuangan itu menurut cerita rakyat merupakan lubang akibat tumbukan sebuah meteor. Lubang itu menjadi salah satu kuburan massal terbesar di Irak.
Berdasar kesaksian dari sejumlah keluarga, Sami Faisal mengatakan dia telah mengumpulkan 1.820 nama laki-laki dan perempuan yang telah dilaporkan hilang. Di daftar tersebut banyak yang berprofesi sebagai tentara, pegawai negeri, wartawan dan aktivis dari Kota Mosul dan daerah sekitarnya.
Di daftar terpisah, dilaporkan bahwa warga etnis Yazidi yang hilang terdiri 3.111 orang. Jumlah tersebut berfluktuasi ketika ada warga etnis minoritas Yazidi yang muncul kembali setelah bertahun-tahun diperbudak oleh NIIS.
Memutuskan kapan seseorang dapat dinyatakan telah meninggal dunia adalah hal yang ditangani pihak berwenang di Irak. Pengadilan Irak telah memutuskan bahwa jika seseorang menghilang selama dua tahun tanpa kabar dalam konteks terorisme, maka secara resmi pengadilan Irak mengumumkan kematian mereka.
Walikota Mosul, Zoheir al-Araji, mengatakan, Kementerian Kehakiman telah mencatat pengaduan oleh keluarga korban hilang. Banyak kasus-kasus telah dilaporkan ke pemerintah dan otoritas keamanan agar dapat diselidiki, tetapi sejauh ini belum mendapatkan hasil. (AFP)