Hajatan akbar ”bagi penggemar sepak bola sejagat telah tiba, dan mata dunia akan memandang Rusia. Sebulan penuh, publik dunia disuguhi tontonan sepak bola melalui televisi berlogo ”FIFA World Cup Russia 2018”.
”Kemenangan utama sudah diraih,” tulis koran yang dikelola Pemerintah Rusia, Rossiiskaya Gazeta, setelah ajang dibuka, Kamis lalu. Bukan merujuk pada kemenangan Rusia 5-0 atas Arab Saudi, tetapi pada penyelenggaraan Piala Dunia. Apa pun capaian yang ditorehkan timnas Rusia nanti, satu pemenang yang sudah pasti adalah Rusia dan Presiden Vladimir Putin.
Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA), selaku pemilik merek Piala Dunia, terkenal dengan jargon ”buang jauh-jauh politik dari sepak bola”. Tabu dan haram hukumnya menghadirkan anasir-anasir politik dalam sepak bola. Dalam laga sepak bola, kredo itu dijalankan ketat oleh perangkat pertandingan dengan pedoman seperangkat aturan permainan.
Namun, dalam penyelenggaraannya—seperti turnamen besar lainnya—Piala Dunia tak bisa dilepaskan dari dimensi politik. Tidak terkecuali, Piala Dunia 2018 Rusia. Piala Dunia ini pertama kali digelar Rusia. Meski tiket penyelenggaraannya diperoleh Rusia pada akhir 2010—bersamaan terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022—dalam voting Komite Eksekutif FIFA di Zurich, Swiss, Piala Dunia itu berlangsung saat Moskwa diisolasi dan dijatuhi sanksi oleh Barat menyusul aneksasi Rusia terhadap Crimea, Ukraina, empat tahun lalu.
Aspek politik itu memang tak akan membuat FIFA membatalkan pilihan pada Rusia sebagai penyelenggara Piala Dunia. Demikian juga, FIFA tak akan mencabut status Qatar sebagai penyelenggara Piala Dunia 2022 meski negara kecil di Jazirah Arab itu tengah diblokade empat negara Arab lain, kecuali ada force majeur yang tak bisa dihindari, seperti bencana alam.
Setiap upaya, seperti belakangan dilakukan negara-negara rival Qatar di kawasan untuk merecoki penyelenggaraan Piala Dunia 2022 digelar di Qatar, tentu dilawan habis-habisan oleh tuan rumah. Bagi Putin (65), yang terpilih lagi sebagai presiden dalam pemilu belum lama ini, Piala Dunia mengirim pesan pada dunia: Rusia tetap berdiri tegak kendati diisolasi Barat.
Piala Dunia mengirim pesan pada dunia: Rusia tetap berdiri tegak kendati diisolasi Barat.
Di mata Barat, ada sederet dosa Putin, selain aneksasi ke Crimea. Rusia dituding Belanda sebagai otak penembakan pesawat Malaysia Airlines MH17 pada 2014 di Ukraina timur. Moskwa juga dituduh menjalankan program doping yang disponsori pemerintah pada Olimpiade Musim Dingin 2014.
Putin juga menjadi pembela Presiden Bashar al-Assad, yang ingin digulingkan Barat, di Suriah. Rusia dituding pula mencampuri proses pemilu Presiden AS 2016. Terakhir, Moskwa dinilai bertanggung jawab atas upaya pembunuhan mantan agen ganda asal Rusia dan putrinya di Inggris.
Maret lalu, Menlu Inggris Boris Johnson sampai mengatakan, Putin ingin memanfaatkan Piala Dunia untuk membasuh dosa-dosa Rusia, seperti dilakukan Pemimpin Nazi, Adolf Hitler, pada Olimpiade Berlin 1936. ”(Johnson) telah teracuni kebencian,” tangkis Maria Zakharova, Jubir Kemlu Rusia.
Rusia dituding pula mencampuri proses pemilu Presiden AS 2016.
Saat pembukaan, Kamis, yang dimeriahkan penyanyi Inggris Robbie Williams, tak satu pun negara Barat mengirim pejabat senior. Di tribune VIP Stadion Luzhniki, hanya ada empat kepala negara (Azerbaijan, Kazakhstan, Bolivia, dan Rwanda)—Moskwa menyebut 15 pemimpin negara hadir—selain Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman.
Namun, Moskwa gembira. Di Piala Dunia ini, tak ada boikot seperti dilakukan AS saat mereka menggelar Olimpiade 1980 pascainvasi Uni Soviet ke Afghanistan. Yang lebih penting bagi Putin, dengan Piala Dunia ini, ia ingin memperlihatkan Rusia tetap menjadi kekuatan besar dunia.
Maka, tak mengherankan, ketika ditanya di sebuah forum ekonomi bulan lalu soal siapa yang bakal tampil pemenang Piala Dunia ini, Putin dengan mantap melemparkan jawabannya. Jerman? Bukan. Portugal, Brasil? Bukan. Inggris? Jelas bukan. ”Pemenangnya adalah sang penyelenggara,” kata dia.