Korporasi Amerika Menikmati Pasar Dunia
Presiden Amerika Serikat Donald Trump salah besar dengan meributkan perdagangan dunia dan globalisasi. Korporasi AS ternyata melakukan penjualan lebih besar di seluruh pasar dunia. Ini jauh lebih besar dari total penjualan seluruh korporasi dunia di pasar AS. Demikian hasil riset Deutsche Bank, seperti diberitakan Bloomberg, 12 Juni 2018.
Dikutip Bloomberg pada 12 Juni, Kanselir Jerman Angela Merkel menegaskan, “AS menikmati surplus perdagangan dan jasa dengan Uni Eropa.” Merkel tidak berbicara tentang penjualan korporasi AS di seluruh tetapi lebih pada data perdagangan AS dengan seluruh dunia, termasuk Uni Eropa.
Ada banyak kesalahan fatal yang dilakukan Trump. Dia mengubah istilah “fair trade” sebagai “fool trade”, perdagangan adil menjadi perdagangan bodoh.
Pada 8 Juni 2018, Trump menyerang Presiden Perancis Emmanuel Macron lewat Twitter. “Katakan pada Presiden Macron, Uni Eropa menikmati surplus perdagangan 150 miliar dollar AS dengan Amerika Serikat,” demikian tulis Trump.
Namun ternyata, data yang digunakan Trump salah. Menurut harian The New York Times, 7 Juni, defisit perdagangan AS terhadap Uni Eropa pada 2017 adalah 101 miliar dollar AS. Harian ini menyebutkan data itu jelas tertera dalam laporan ekonomi Gedung Putih yang diteken Trump sendiri.
Lepas dari itu, walau dalam neraca perdagangan AS menghadapi defisit 101 miliar dollar AS terhadap Uni Eropa, AS ternyata sangat diuntungkan dalam hubungan ekonomi trans-Atlantik. Menurut Merkel, jika turut dimasukkan perdagangan jasa (bukan barang fisik semata), AS menikmati surplus dengan UE.
Menurut Merkel, isu ini telah disampaikan para pemimpin G7 dalam pertemuan di La Malbaie, Quebec, Kanada, 8-9 Juni 2018. Masalah muncul karena AS hanya melihat desifit perdagangan barang semata. “Perdagangan dilihat dengan sudut pandang lama, arus barang semata,” kata Merkel, pada sebuah seminar bisnis pada hari Selasa di Berlin.
Yang dimaksud perdagangan jasa diantaranya jasa konsultan, pengacara, royalti, jasa asuransi, keuangan, teknologi informasi, hingga keahlian lainnya. Selama ini, nilai dari perdagangan jasa tidak dimasukkan Trump saat menyerang dunia soal perdagangan bebas yang dia sebutkan telah merugikan AS.
Trump hanya melihat defisit perdagangan barang, dimana AS memang mengalami total defisit terhadap dunia sebesar 550 miliar dollar AS pada 2017. Bahkan lebih parah lagi, Trump melebih-lebihkan angka defisit perdagangan barang terhadap dunia menjadi 800 miliar dollar AS.
Trump melihat defisit perdagangan barang semata.
Mendominasi pasar dunia
Merkel memang tidak menyebutkan angka surplus (barang dan jasa) yang dia maksudkan. Hal mengejutkan adalah, temuan dari riset yang dilakukan Deutsche Bank ternyata menggunakan data dari US Bureau of Economic Analysis, lembaga milik AS sendiri.
AS misalnya, mengaku mengalami defisit perdagangan barang 330 miliar dollar AS terhadap China. Namun, ketika data perdagangan jasa dimasukkan, AS malah menikmati surplus 20 miliar dollar AS terhadap China. Lebih mengagetkan lagi, terhadap seluruh dunia, AS menikmati surplus 1,4 triliun dollar AS (perdagangan barang dan jasa).
Ini tidak akan terlihat dalam neraca perdagangan yang hanya mencatat perdagangan barang. Angka ini akan terlihat jika diteliti lebih dalam, termasuk aliran perdagangan barang (merchandise goods) dan penjualan yang dilakukan korporasi AS di seluruh dunia.
Surplus dengan angka 1,4 triliun dollar AS yang diraih AS ini didapatkan dengan memasukkan penjualan seluruh korporasi AS yang beroperasi di seluruh dunia. Penjualan yang dilakukan oleh seluruh korporasi AS di semua negara tidak akan tercatat dalam statistik perdagangan.
Sebagai contoh, perusahaan telekomunikasi AS, Apple, membuat iPhones di China dan menjualnya di pasar China, sebagian lainnya dijual ke pasar AS. Dari sisi itu, data justru memperlihatkan seolah-olah China telah mengekspor produk Apple ke AS padahal itu buatan korporasi AS.
Data perdagangan antarnegara tidak akan memperlihatkan produk yang dijual Apple di China karena memang dibuat di China. Hal serupa terjadi untuk perusahaan AS yang beroperasi di Eropa dan menjualnya di Eropa, demikian juga di Asia dan di pasar lainnya.
Temuan dari Deutsche Bank, penjualan oleh seluruh korporasi AS di seluruh pasar dunia ternyata melampaui total penjualan seluruh korporasi non-AS di pasar AS sendiri.
Dengan hanya melihat defisit perdagangan dari sisi arus barang saja, atau bahkan termasuk dengan turut melihat arus jasa semata, akan melahirkan pandangan yang salah. Manfaat dari globalisasi, harus dilihat dengan memasukkan penjualan korporasi asing di negara tempatnya berbisnis.
Penjualan produk Apple di Indonesia misalnya, akan menghasilkan keuntungan untuk Apple sendiri, dan bukan keuntungan yang akan dipegang entitas di Indonesia.
Manfaat dari globalisasi, harus dilihat dengan memasukkan penjualan korporasi asing di negara tempatnya berbisnis.
“Coba masukkan semua data perdagangan, termasuk penjualan korporasi AS di negara asing lalu bandingkan itu dengan penjualan korporasi non-AS di pasar AS. Korporasi AS telah menjual lebih banyak di seluruh pasaran dunia ketimbang penjualan korporasi non-AS di pasar AS dalam 10 tahun terakhir,” demikian ekonom Deutsche Bank yang khusus membidangi pasar China, Zhang Zhiwei.
Pandangan soal China
Khusus soal serangan Trump terkait defisit perdangan AS sebesar 330 miliar dollar AS dengan China, ini didasarkan pada opini yang tidak saksama.
“Konsumen China membeli lebih banyak iPhones dan membeli lebih banyak produk General Motors ketimbang pembelian konsumen AS atas produk telepon merek China dan mobil buatan China. Telepon seluler Apple dibeli konsumen China bukan lewat ekspor langsung dari AS tetapi lewat anak perusahaan Apple yang berbisnis di China,” kata Zhang.
AS juga menikmati hal serupa di pasar Meksiko dan Kanada. AS hanya mengalami defisit dengan Jepang dan Jerman tahun 2017 terkait isu serupa. Korporasi Jepang dan Jerman menjual lebih banyak di pasar AS dibandingkan penjualan korporasi AS di Jerman dan Jepang. Namun secara keluruhan, korporasi AS terunggul di dunia dari korporasi manapun.
Secara keluruhan, korporasi AS terunggul di dunia dari korporasi manapun.
Hanya saja, seorang mantan pejabat Departemen Keuangan AS Brad Setser, yang kini menjadi staf di Council on Foreign Relations (lembaga AS), tidak setuju dengan metode yang dilakukan ekonom Deutsche Bank. Setser mengatakan, operasi bisnis korporasi AS di seberang telah menyebabkan para pekerja AS tidak terserap karena telah terjadi relokasi industri.
Hal inilah yang dikeluhkan Trump, bahwa perdagangan dunia berbasiskan globalisasi telah menyebabkan koporasi AS memindahkan produksi ke seberang walau itu dilakukan dengan alasan biaya produksi lebih rendah.
AS di bawah Trump ingin membalikkan investasi dan produksi kembali ke pasar AS. Itulah yang dimaksudkan Trump dengan moto, “Make America great again.”
Akan tetapi, bukan salah dunia jika koporasi AS melakukan relokasi produksi ke seberang. AS mencetak para ekonom kaliber dunia yang turut mendukung perdagangan internasional dan pembagian pekerjaan dunia berdasarkan “endowment factor” (kekuatan dasar yang dimiliki secara ekonomis).
David Ricardo adalah salah satu ekonom AS yang terkenal soal ini. Dan, pembagian pekerjaan secara internasional telah melahirkan perdagangan yang terbukti memakmurkan dunia.
Namun, dengan menghukum mitra dagang lewat tarif, seperti dilakukan Trump hanya karena ingin memaksakan pengembalian produksi kembali ke AS, jelas tidak beralasan kuat. Ini termasuk aksi proteksionisme yang membahayakan dunia dan dikecam G7.
Ini termasuk aksi proteksionisme yang membahayakan dunia dan dikecam G7.
Maka dari itu, Uni Eropa termasuk oleh Presiden Perancis Emmanuel Macron meradang. Mereka meminta agar mitra dagang jangan disalahkan atas persoalan yang dihadapi Trump dengan daya saing rendah di negaranya. Adalah daya saing produksi yang rendah yang menyebabkan relokasi pabrik. Pandangan serupa juga disampaikan oleh pemimpin Kanada hingga China.
Peliknya repatriasi pajak
Mungkin, AS akan lebih menikmati pasar dunia secara nyata jika korporasi AS melakukan repatriasi atas keuntungan dari bisnis di seberang untuk dialirkan kembali ke AS. Ini akan menjadi sumber pajak yang menurunkan defisit anggaran pemerintah AS, dan dapat menutup tumpukan utang AS yang menyebabkan defisit anggaran selama bertahun-tahun. Utang AS kini bahkan mencapai 20 triliun dollar AS.
Masalah lain adalah, memang marak aksi penggelapan pajak yang dilakukan oleh korporasi AS. Presiden AS Barack Obama lebih jeli melihat masalah ini. Di bawah Obama, terjadi perburuan aktif atas perolehan laba korporasi AS dari hasil bisnis di seberang. Obama tidak melulu menekan mitra dagang dengan argumentasi perdagangan yang defisit.
Obama melihat, korporasi AS memiliki tanggung jawab nasional dari segi kewajiban pajak, termasuk pajak atas hasil bisnis di seberang. Ini jelas ada dalam peraturan perpajakan AS sendiri. Perburuan pajak ini tidak positif secara signifikan tetapi ada hasilnya juga. Skema penggelapan pajak oleh korporasi AS sendiri sangat rumit.
Walau tidak berhasil secara signifikan, Obama setidaknya telah mencoba. Ironisnya, Trump tidak tertarik dengan perburuan pajak atas laba korporasi AS dari bisnis seberang. Trump lebih gencar menurunkan pajak, termasuk terhadap korporasi AS yang berbisnis di AS sendiri. Dan Trump, lebih memilih menghukum negara mita dagang lewat tarif.
Presiden Obama terlihat lebih cerdik melihat akar masalah. Jika Trump mengatakan, dia lebih baik soal perekonomian dibandingkan dengan semua Presiden AS sebelumnya, justru Trump paling menghebohkan. Ini termasuk dengan menghantam mitra dagang tradisional yang juga sekutu utama AS dalam geopolitik. (AP/AFP/REUTERS)