Jarang Terjadi, Para Mitra Serentak Melawan AS
Sejak Perang Dunia II, dapat dikatakan Amerika Serikat menjadi pelopor utama dan terdepan dalam urusan internasional. Jarang ada negara yang berani menentang ide atau arahan dari AS. Demikian pula untuk urusan perdagangan internasional, jarang ada yang berani melawan AS.
Akan tetapi, sejak Presiden Donald Trump memimpin AS, para sekutu terdekat bertahun-tahun pun melawan dengan lantang.
Walau AS menentang aturan hukum internasional, seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), belum pernah terjadi perlawanan massal dari para mitra dagang AS. Namun, akhir-akhir ini perlawanan sangat marak dan sangat prinsipil. Perlawanan kali ini dipicu pengenaan tarif impor 25 persen oleh AS atas impor baja dan 10 persen atas impor aluminium.
Trump mengatakan, perang dagang akan mudah dimenangkan. Alasannya, bertahun-tahun dunia memanfaatkan perdagangan bebas dengan AS. Bertahun-tahun AS mengalami defisit dengan negara-negara mitra dagang. ”Ini tidak boleh dibiarkan,” ujar Trump.
Nyatanya tidak demikian. Para mitra AS tidak surut nyali. Sikap garang AS soal perdagangan tidak membuat gentar para mitra AS. Uni Eropa (UE), sekutu trans-Atlantik terdekat, dengan berani mengatakan akan membalas AS yang mengenakan tarif terhadap impor baja dan aluminium.
Bukan itu saja, UE menolak panggilan Trump agar UE memasuki perundingan soal perdagangan mobil. Ini terkait dengan ancaman Trump soal pengenaan tarif terhadap impor mobil dari UE.
UE menolak panggilan Trump agar UE memasuki perundingan soal perdagangan mobil.
Seperti diberitakan Bloomberg, 16 Juni, Trump menelepon Presiden Perancis Emmanuel Macron soal pengurangan hambatan dagang. Telepon Presiden Trump kepada Presiden Macron soal dagang otomatis merupakan seruan terhadap UE.
Menurut Bloomberg, UE sudah menolak diskusi perdagangan sejak tarif baja dan aluminium diberlakukan mulai 1 Juni 2018. ”Siap berdiskusi soal liberalisasi perdagangan jika tarif dicabut,” ucap Presiden Dewan UE Donald Tusk.
Meregangnya hubungan AS-UE akhirnya lebih dari sekadar hubungan ekonomi yang terusik. Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas pada awal Juni 2018 menyerukan agar UE semakin solid mengisi kevakuman sepeninggal AS dalam perjanjian internasional.
Haas juga menyerukan agar UE mengambil alih peran lebih besar dalam urusan global, kebijakan luar negeri, dan pertahanan.
China tidak takut
China juga akan dikenai tarif 25 persen oleh AS untuk impor senilai 34 miliar dollar AS mulai 6 Juli 2018. Hal ini diumumkan Presiden Trump, Jumat, 15 Juni. Trump juga menegaskan, China tidak boleh membalas sebab akan dikenai tarif tambahan untuk impor lain sebesar 16 miliar dollar AS.
Ada lagi ancaman tambahan untuk China, seperti diberitakan Bloomberg, edisi 18 Juni. Pada awal Juli 2018, akan ada sanksi ekstra berupa hambatan bagi investasi China di AS, menurut Kepala Perwakilan Dagang AS (US Trade Representative/USTR) Robert Lighthizer.
China menyatakan kejengkelannya sekaligus merasa tidak takut dan segera membalas. Bagi China, AS selalu berubah-ubah sikap. Pada Mei lalu, pihak AS menjanjikan gencatan perang dagang, tetapi tiba-tiba berubah lagi.
China menyatakan kejengkelannya sekaligus merasa tidak takut dan segera membalas.
China pun menyebutkan, segala tawaran konsesi pada AS otomatis hilang dengan sendirinya setelah pengumuman 15 Juni itu. Sebelumnya, China menjanjikan akan membeli produk energi dan pertanian dalam jumlah lebih besar dari AS serta menjanjikan akan menurunkan tarif impor dari AS.
Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Lu Kang juga menyatakan, China tidak menginginkan perang dagang. ”Konfrontasi dari AS berdasarkan pandangan sempit akan merugikan kedua belah pihak. China tidak memiliki pilihan selain membalas dengan tegas.”
Balasan China dilakukan untuk melindungi kepentingan nasional dan warganya, sekaligus menyelaraskan kepentingan globalisasi dan penegakan sistem perdagangan multilateral.
Salah satu alasan AS mengenakan tarif adalah defisit perdagangan sebesar 337 miliar dollar AS pada 2017 dengan China.
Hal yang juga membuat China marah adalah pengenaan tarif bertujuan menghentikan program ”Made in China 2025”. Sasaran tarif AS adalah produk-produk elektronik China. Ini dianggap sebagai pukulan mematikan yang akan menghambat program tersebut.
Senin (18/6/2018), Presiden Trump menunjukkan kemarahan kepada China yang tampaknya tidak ingin tunduk. Trump memerintahkan Lighthizer merinci komoditas tambahan untuk dikenai tarif. Impor sebesar 200 miliar dollar AS dari China juga direncanakan dikenai tarif baru.
Menurut Trump, ”perlawanan” China menandakan AS akan selalu menghadapi praktik dagang tak fair dan tidak seimbang.
Menambah masalah adalah keputusan Senat AS pada Senin (18/6/2018). Sebuah undang-undang diciptakan untuk memblokir keputusan Gedung Putih yang memberikan izin kepada perusahaan China, ZTE, untuk membeli komponen dari Qualcomm, perusahaan AS.
Sebelumnya Gedung Putih memberikan sanksi kepada ZTE, tidak boleh membeli komponen dari perusahaan AS, terutama Qualcomm. Senat pun mengupayakan pemblokiran atas ZTE.
China membalas lagi. ”Jika AS kehilangan akalnya dan mengenakan tarif lebih luas, China tidak memiliki pilihan lain dan pasti membalas dengan langkah menyeluruh, baik secara kuantitatif maupun kualitatif,” demikian pernyataan Kementerian Perdagangan China seperti diberitakan kantor berita China, Xinhua, Selasa (19/6/2018).
Harian The Wall Street Journal, 15 Juni, mengingatkan pertemuan antara sekelompok perusahaan AS dan Wakil Presiden China Wang Qishan pada Maret 2018.
Para eksekutif korporasi AS menerima pesan tegas. Jika tensi perdagangan AS-China meningkatkan, siagalah! ”Pesan begitu jelas, banyak korporasi AS yang akan jadi korban perang dagang,” menurut salah satu orang yang hadir dalam pertemuan itu.
Wapres Wang pada pertemuan itu meminta korporasi AS turut memberikan tekanan kepada Presiden Trump supaya tidak merealisasikan perang dagang.
Wapres Wang meminta korporasi AS turut memberikan tekanan kepada Presiden Trump supaya tidak merealisasikan perang dagang.
India dan Jepang melapor ke WTO
India adalah kekuatan di Asia yang diharapkan bisa menandingi kebangkitan pamor China. Dalam perannya, India tentu akan bersekutu dengan AS. Hanya saja, sama seperti UE, AS pun mengganggu keharmonisan hubungan dengan mengenakan tarif pada impor baja asal India.
Sehubungan dengan itu, pada 16 Juni, WTO telah menerima pengaduan dari India. Negara ini menyampaikan rencana pengenaan tarif tambahan pada komoditas impor asal AS.
Tarif balasan ini setara dengan besaran sanksi yang dikenakan AS kepada India. ”India berhak mengenakan tarif terhadap produk spesifik,” demikian pernyataan Pemerintahan India.
Akan tetapi, sebelum memutuskan tindakan balasan, Menteri Perdagangan dan Industri India Suresh Prabhu mengatakan, para pejabat AS dan India bertemu dulu pada akhir Juni.
Demikian pula Jepang, sekutu sejati militer AS ini tak luput dari hantaman tarif AS. Seperti diberitakan Bloomberg, 30 Mei, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengkritik balik Presiden Trump yang mendorong pengenaan tarif pada impor baja dan otomotif Jepang.
”Kami tidak bisa menerima keputusan ini,” kata Abe seraya menambahkan, Jepang akan melapor kepada WTO. Tarif akan mengganggu produk Toyota Motor Corp yang paling mendominasi pasar AS.
Kanada dan Meksiko
Presiden Trump juga menghantam Kanada dan Meksiko. Kedua negara ini bersama AS berada dalam satu blok dagang, Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). Kanada dan Meksiko menghadapi tekanan ganda dari AS, yakni tuntutan Trump akan modifikasi perjanjian NAFTA.
Tuntutan Trump itu ditolak oleh Kanada dan Meksiko. Kedua negara ini juga terkena tarif impor baja dan aluminium, padahal berada dalam satu kawasan perdagangan bebas.
Seperti diberitakan CNN, 6 Juni, Pemerintah Meksiko menegaskan pembalasan berupa pengenaan tarif tambahan untuk total impor 3 miliar dollar AS asal AS. ”Penting dan mendesak membalas langkah AS dengan ukuran setara,” demikian pernyataan Pemerintah Meksiko.
Tak ketinggalan Kanada lewat Perdana Menteri Justin Trudeau menegaskan, ”Kanada itu ramah dan bertindak terukur. Akan tetapi, Kanada tidak bisa ditekan dan akan membalas dengan pengenaan tarif mulai 1 Juli.” Kanada mengumumkan rencana pembalasan tarif 25 persen untuk impor AS sebesar 13 miliar dollar AS asal AS.
Demikianlah AS menghadapi perlawanan serentak dan seragam. Kawasan dan negara-negara yang melawan AS ini adalah mitra dagang terbesar AS.
Logika di balik perlawanan
Perlawanan para mitra dagang AS ini memiliki alasan kuat dan sahih. ”Dari perspektif keamanan, sulit memahami AS yang mengenakan tarif dengan alasan keamanan nasional. Jepang adalah sekutu militer AS,” kata PM Abe. Salah satu alasan Trump saat memutuskan pengenaan tarif adalah demi keamanan nasional.
UE dan Kanada juga mengatakan AS adalah sekutu tradisional dan sudah terbukti bertahun-tahun. Tidak masuk akal para mitra terdekat dikenai tarif dengan alasan keamanan nasional.
Alasan lain di balik perlawanan itu adalah AS bertindak unilateral. Dalam setiap pengenaan tarif, semua anggota harus mendapatkan persetujuan dari WTO. AS adalah anggota WTO. Pengenaan tarif oleh AS bukan berdasarkan peraturan WTO, melainkan peraturan AS. Kongres AS memberikan mandat kepada pemerintah untuk mengenakan sanksi kepada mitra dagang.
Salah satu undang-undang yang dimiliki AS adalah Trade Act of 1974 (Undang-Undang Perdagangan). Pada Bab 1 UU itu tertulis, ”Penegakan hak AS berdasarkan perjanjian dagang dan respons untuk menghadapi praktik perdagangan oleh pihak asing”. Di bawah bab ini terdapat Seksi 301, yang memberi mandat kepada USTR mengenakan sanksi dagang.
Ini kebetulan cocok dengan misi Kepala USTR Robert Lighthizer, seorang ahli hukum perdagangan internasional. Dia sejak lama dikenal anti-WTO. Lighthizer bertekad menekankan kedaulatan nasional di atas asas multilateralisme. Hal itu dia tegaskan pada pertemuan WTO di Buenos Aires, Argentina, 12 Desember (Reuters).
Lighthizer bertekad menekankan kedaulatan nasional di atas asas multilateralisme.
Opini Lightizer senada dengan Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross yang menyebutkan WTO ketinggalan zaman, lamban mengatasi sengketa dagang, dan perlu perbaikan (Bloomberg, 30 Mei).
Akan tetapi, diduga semua ini hanya akal-akalan. AS terkesan ingin melumpuhkan WTO. Salah satu pilar WTO adalah penegakan peran Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB).
AS sudah tidak berminat mendorong nominasi para hakim yang akan duduk di badan itu. Ini dipandang sebagai pelemahan WTO dengan sengaja.
Hanya AS yang menisbikan WTO dan tidak demikian dengan para anggota WTO lainnya. Sekutu utama AS di dunia tidak setuju dengan pendekatan AS. ”Jepang harus mengambil peran utama dalam pemeliharaan kerangka WTO,” demikian PM Abe.
Setiap tindakan dari para mitra dagang AS selalu didasarkan pada kerangka WTO, yang punya legitimasi. Situs WTO menyebutkan, DSB mengadopsi laporan panel pada 27 Januari 2000, yang intinya melarang AS menggunakan hukum AS sendiri. Setiap anggota dilarang bertindak secara unilateral, tetapi harus berdasarkan pandangan DSB.
AS tidak akan taat pada aturan WTO, seperti diyakini Menteri Luar Negeri Kanada Crystia Freeland. Setiap sengketa dagang yang ditangani lewat badan hukum AS tidak akan mampu membuat pihak asing menang soal sengketa dagang. Para anggota WTO tetap mempertahankan kerangka WTO karena lebih adil melihat permasalahan dagang.
Defisit bukan masalah
Gary Cohn, mantan Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden Trump, akhirnya bersuara. Dia mengatakan, defisit bukan menjadi masalah. Hal itu bukan juga alasan kuat untuk pengenaan tarif. Argumentasinya, keberadaan mitra dagang malah terbukti menguntungkan AS lewat perdagangan.
Sebuah hasil riset Dewan Penasihat Ekonomi yang tidak dipublikasikan, menurut harian The New York Times, 7 Juni, menyimpulkan bahwa pengenaan tarif malah merugikan AS.
Lembaga konsultan ekonomi global, Oxford Economy, meluncurkan laporan pada 7 Januari 2018 yang diteken John Frisbie, Presiden The US-China Business Council. Penelitian Oxford Economy dijalankan berdasarkan permintaan US-Business Council.
Isinya memperlihatkan arus perdagangan bilateral, semisal antara AS dan China, tidak bisa dilihat melulu sebagai arus pergerakan barang antara AS dan China semata.
Temuan Oxford Economy memperlihatkan defisit 337 miliar dollar AS yang dialami AS terhadap China bukan sebuah angka murni. Di dalam defisit itu, misalnya, ada produk buatan perusahaan AS yang diproduksi di China dan dipasarkan di AS. Dunia saling terkait dalam mata rantai produksi global.
Oxford Economy menyimpulkan, globalisasi, dalam hal ini kegiatan perdagangan AS-China, malah mendorong pekerjaan di AS sebesar 2,6 juta. Diakui ada pekerjaan yang hilang karena relokasi pabrik AS ke China.
Akan tetapi, hal itu malah membuat korporasi AS bisa mempertahankan daya saing di pasar global.
Dengan demikian, jika AS mengenakan tarif sepihak kepada China berdasarkan angka defisit perdagangan, hal itu bisa menjadi bumerang karena merugikan korporasi AS sendiri.
Ketua Kamar Dagang dan Industri AS Tom Donahue pun beralasan, perang dagang akan merugikan korporasi AS. ”Tarif mengganggu perkembangan ekonomi AS yang sedang terjadi,” kata Donahue seperti dikutip The Wall Street Journal, 31 Mei. (REUTERS/AP/AFP)