Melawan Serbuan Plastik dengan Tas Serat Sisal
Petani Kenya, Sam Mung’ala, dulu berjuang keras memberi makan keluarganya dengan menanam kacang polong dan sorgum. Saat ini, dia menafkahi keluarganya dengan menjual sisal, serat tanaman yang dihasilkan dari tanaman perdu bernama Latin Agave sisalana.
Mung’ala, petani dari kota Kibwezi, Kenya selatan, itu menjual sisal kepada pedagang kaki lima dan pedagang pasar untuk membuat tas belanja.
”Dulu 1 kilogram sisal dijual seharga 30 shilling Kenya (0,30 dollar AS atau Rp 4.000), tetapi sekarang bisa mencapai 100 shilling (1 dollar AS/Rp 14.000) sejak ada larangan penggunaan plastik,” kata Mung’ala sambil berjongkok mengasah parang di ladangnya.
Sisal memang menjadi bagian dari kampanye Pemerintah Kenya untuk melawan sampah plastik. Tahun lalu, Pemerintah Kenya mengesahkan undangundang (UU) yang bertujuan mengurangi polusi plastik. Dengan adanya UU itu, warga Kenya yang memproduksi, menjual, atau menggunakan kantong plastik berisiko dipenjara hingga 4 tahun atau didenda 40.000 dollar AS (Rp 563 juta).
Mendukung langkah pemerintah, jaringan supermarket besar, seperti Carrefour asal Perancis dan Nakumatt di Kenya, mulai menawarkan tas belanja yang terbuat dari kain kepada pelanggan. Robert Gituru, ahli botani Universitas Pertanian dan Teknologi Jomo Kenyatta, mengatakan, kebijakan itu menciptakan permintaan untuk serat tanaman, seperti sisal.
”Para petani lebih tertarik pada sisal karena meningkatnya permintaan untuk tas belanja yang dibuat dengan serat tanaman,” kata Gituru. Sisal merupakan pilihan terbaik karena ramah lingkungan, mudah terurai, dan dapat didaur ulang menjadi pupuk.
Terbesar ketiga
Dickson Kibata, petugas teknis di Otoritas Makanan dan Pertanian Kenya, menyebutkan, Kenya adalah produsen sisal terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Tanzania. Dari sisal, setiap tahun Kenya meraup pendapatan hingga 2 miliar shilling atau sekitar Rp 282 miliar.
”Namun, itu bisa meningkat menjadi 50 miliar shilling (sekitar Rp 7 triliun) dalam lima tahun ke depan jika permintaan untuk sisal terus tumbuh,” katanya.
Menurut Kibata, Pemerintah Kenya mendorong para petani berinvestasi menanam sisal. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan konferensi pada akhir tahun ini bagi para petani dan pengusaha terkait alternatif pengganti plastik.
Bagi petani seperti Mung’ala, selain memiliki nilai ekonomi, sisal juga dapat mengatasi cuaca kering Kenya. Dia dulu hanya menanam sebatang kecil sisal di tepi ladangnya. Sekarang, ia memiliki tanah seluas 1 hektar, seperempat di antaranya digunakan untuk menanam sisal.
”Prospeknya terlihat bagus. Saya bahkan mendapatkan penjual yang langsung datang ke ladang untuk membeli produk saya,” kata Mung’ala yang sedang mempertimbangkan untuk menggunakan separuh dari lahannya untuk menanam sisal.
Limbah plastik
Di tempat lain, di sekitar bendungan Nairobi, ibu kota Kenya, yang terletak di pinggiran wilayah kumuh Kibera, tampak banyak aktivitas. Sekelompok mahasiswa, relawan, dan pejabat pemerintah mengumpulkan plastik dan kertas. Mereka membersihkan cadangan air di ibu kota Nairobi yang kini terancam polusi.
”Polusi harus dihentikan,” kata Yohana Gikara, pekerja komunitas yang memimpin tim relawan menanam pohon untuk merehabilitasi bendungan. ”Tanpa sampah plastik, lahan basah kami dapat memiliki masa depan yang bebas polusi,” ujarnya sambil memungut sampah plastik dari toilet darurat. Menurut Gikara, tas belanja yang dibuat dengan serat tumbuhan, seperti sisal, dapat membantu perkampungan kumuh tersebut mengatasi masalah limbah plastik.
Namun, Juliette Biao Koudenoukpo, Direktur Regional Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP), menuturkan, alternatif seperti sisal memakan biaya. ”Tas sisal berharga dua kali lipat harga kantong plastik dan orang miskin tidak mampu membelinya dalam jumlah besar untuk meminimalkan biaya,” kata Biao.
Hal ini membuat khawatir Mercy Nyaga, ibu rumah tangga di Nairobi yang berbelanja mingguan di mal tak jauh dari rumahnya. Meskipun mencoba menggunakan kembali tas kain, dia sering harus membeli yang baru untuk membawa semua barang belanjaannya. ”Ini menyebabkan saya menghabiskan banyak uang,” katanya.
Kibata berpendapat, solusi untuk itu terletak pada peningkatan produksi sisal oleh petani seperti Mung’ala. Hal itu bisa membantu menurunkan harga akhir bagi pelanggan dan memungkinkan supermarket membagikan tas sisal gratis.
Dionysious Kihika Kiambi, ilmuwan dari Universitas Kristen Pan Afrika Kenya, mengatakan, faktor tambahan bisa menggunakan rekayasa genetika benih sisal yang dapat menahan hama. Ini bisa membantu petani meningkatkan hasil panen mereka dan mempercepat masa panen sisal di Kenya. ”Itu juga akan mengurangi jumlah bahan kimia yang digunakan untuk membasmi hama,” kata Kiambi.
(THOMSON REUTERS FOUNDATION)