SHANGHAI, SELASA Sejumlah bursa saham di Asia, terutama di China, Hong Kong, dan Korea Selatan, ditutup turun pada perdagangan Selasa (26/6/2018). Indeks Shanghai Composite kemarin hanya turun sekitar 0,5 persen, tetapi tercatat telah ambles lebih dari 20 persen jika dibandingkan sejak awal tahun ini. Dana 1,8 triliun dollar AS menguap dari lantai bursa China.
Penurunan bursa-bursa saham Asia terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang ketahanan sejumlah negara, terutama China, terhadap perang dagang dengan Amerika Serikat. Merujuk pemberitaan Bloomberg, maskapai penerbangan memperpanjang tren pelemahan karena mata uang yuan yang merosot mendorong biaya utang dalam denominasi dollar AS. Kondisi yang lebih kurang sama juga memukul para pengembang properti.
Indeks Hang Seng di Hong Kong kemarin melemah sekitar 0,76 persen, menjadikan penurunan indeks sejak awal tahun ini sekitar 2,90 persen. Indeks KOSPI di Korea Selatan tercatat melemah 0,30 persen. Jika dilihat sejak awal tahun ini, indeks acuan di Korsel itu telah tergerus 4,72 persen.
Indeks Nikkei 225 di Tokyo ditutup relatif stagnan dengan kenaikan 0,02 persen. Indeks Nikkei melorot 1,86 persen sejak awal tahun ini.
Pertumbuhan turun
Sebagian besar investor mengabaikan langkah-langkah Pemerintah China untuk mendukung sentimen pasar. Hal itu termasuk pemotongan rasio cadangan dan pengawasan atas likuidasi saham yang dijanjikan. Proyeksi pertumbuhan perekonomian China pun dikhawatirkan turun di tengah peningkatan tensi perang dagang Beijing melawan Washington.
Sebagaimana diwartakan, perang dagang dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu memanas setelah Washington bersiap melarang banyak perusahaan China berinvestasi pada perusahaan teknologi AS. Presiden AS Donald Trump juga disebut bakal menerbitkan aturan tentang pemblokiran ekspor teknologi tambahan ke Beijing.
Prakarsa Washington itu disebut sebagai inisiatif kembar. Kebijakan tersebut menurut rencana diumumkan akhir pekan ini dan dirancang untuk mencegah Beijing mewujudkan megaproyek Made in China 2025.
”Pasar saat ini berada dalam kondisi yang sungguh buruk. Kondisi ini sama bahayanya dengan tahun 2015 lalu,” ujar Zhang Qi, analis di Haitong Securities yang berbasis di Shanghai.
Pada 2015, tekanan hebat mengguncang pasar saham China. Indeks Shanghai Composite kala itu anjlok hingga 40 persen dalam waktu tiga bulan.
Korporasi bimbang
Sikap dan pilihan politik perdagangan yang diambil Trump memang terus dipertanyakan. Tidak hanya terhadap China, Washington juga bersikeras menerapkan tarif impor atas sejumlah mitranya, mulai dari Uni Eropa, Kanada, Meksiko, hingga India.
Korporasi kini dibuat kelabakan dan dihadapkan pada sejumlah pilihan yang harus diambil dalam waktu cepat. Produsen sepeda motor AS, Harley-Davidson, mengatakan pada Senin malam bahwa pihaknya berencana memindahkan beberapa manufaktur ke luar negeri untuk menghindari pembalasan atas tarif impor produk dari Eropa yang diberlakukan pekan lalu.
Hal itu langsung memicu kemarahan Trump. Ia menyatakan terkejut atas respons manajemen Harley-Davidson. Ia menyindir bahwa perusahaan AS yang tengah diperjuangkan itu justru mengibarkan bendera putih pertama. Padahal, menurut Trump, bagi perusahaan-perusahaan seperti itulah dirinya dan Pemerintah AS tengah berjuang.
Sementara itu, bursa Eropa kemarin dibuka naik setelah terseret anjloknya bursa Wall Street sebelumnya. Penasihat ekonomi Gedung Putih, Peter Navarro, mencoba menenangkan pasar. Namun, sikap skeptis tetap melanda para investor. Menurut analis OANDA, Stephen Innes, ucapan para politisi hanya bersifat diplomatis.